Witir

Imam Syafi’i berkata: Dari Nafi’, Malik telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: “Pada suatu malam, saya pernah bersama Ibnu Umar. Saat langit mendung, Ibnu Umar takut akan luput shalat Subuh, maka ia melakukan shalat witir satu rakaat. Kemudian mendung itu hilang, namun terlihat masih malam, maka ia menggenapkan dengan satu rakaat lagi”.

Imam Syafi’i berkata: Kalian menyalahi Ibnu Umar mengenai masalah ini dalam dua hal, kalian mengatakan tidak boleh mengerjakan witir satu rakaat. Siapa yang mengerjakan witir satu rakaat, tidak boleh baginya menggenapkan witimya tersebut. Saya tidak mengetahui bahwa kalian menghafal keterangan dari seseorang yang mengatakan; “Ia tidak menggenapkan witimya”.

Sayabeikatakepada Syafi’i, “Bagaimanakah pendapat Anda tentang masalah ini?”

Beliau menjawab dengan perkataan Ibnu Umar, bahwa dia mengerjakan witir satu rakaat.

Lalu beliau bertanya, “Apakah kalian mengatakan bahwa beliau menggenapkan witimya?” Saya menj awab, “Tidak.”

Beliau bertanya, “Maka, apakah alasan Anda tentang hal itu?” Saya menjawab, “Kami telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau memandang makruh perbuatan Ibnu Umar yang menggenapkan witimya. ” Ibnu Abbas mengatakan, “Apabila kamu melakukan witir dari awal malam, maka genapkanlah pada akhir malam. Janganlah kalian menggenapkannya sementara kalian mengklaim bahwa kalian tidak menerima hadits kecuali dari sahabat-sahabat kalian, sedangkan hadits- hadits sahabat kalian tidak menyalahi hadits Ibnu Umar.”

Di antara pemyataan Imam Asy-Syafi’i mengenai witir, terdapat pada pembahasan beliau tentang perbedaan antara Ali dan Ibnu Mas’ud, yaitu dalam bab “Witir dan Qunut”.

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengerjakan witir sebanyak tiga rakaat, dan ia membaca pada setiap rakaat sembilan surah mufashshal (surah-surah pendek). Mereka mengatakan: “Kami membaca ‘sabbihisma rabbikala’la’, pada rakaat kedua; ‘qulyaa ayyuhal kaafirun’, dan pada rakaat ketiga; ‘surah AL Faatihah dan qul huwallahu ahad.

Adapun kami mengatakan bahwa yang dibaca pada shalat witir adalah: qul huwallahu ahad, qul ‘auzdu birabbil falaq, dan qul ‘audzu birabbin-naas, dan dipisahkan antara dua rakaat dan satu rakaat dengan memberi salam.

Pernyataan Imam Syafi’i yang lain tentang witir terdapat pada pembahasan beliau mengenai perselisihan hadits tentang witir.

Imam Syafi’i berkata: Saya mendengar bahwa Nabi SAW mengerjakan witir pada awal dan akhir malam.

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata.

“Pada setiap malam Rasul SAW mengerjakan witir, dan witimya selesai pada waktu sahur.”

Imam Syafi’i berkata: Shalat sunah terdiri dari dua bagian:

Pertama, shalat berjamaah adalah muakkadah (yang ditekankan) bagi yang sanggup melakukannya, dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkannya; seperti shalat dua hari raya, shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, serta shalat Istisqa.

Kedua, shalat sunah yang dikeijakan sendiri-sendiri. Sebagiannya lebih ditekankan dibandingkan sebagian yang lain; seperti shalat witir dan yang serupa dengannya, yaitu shalat Tahajud, kemudian shalat dua rakaat sebelum fajar.

Saya tidak memberi rukhshah (keringanan) kepada seorang muslim untuk meninggalkan kedua shalat di atas, walaupun saya tidak memandangnya sebagai ibadah wajib. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari keduanya, maka keadaannya lebih buruk dibandingkan apabila ia meninggalkan semua shalat sunah.

Adapun mengerjakan shalat di bulan Ramadhan, maka shalat sendirian lebih saya sukai.

Imam Syafi’i berkata: Akhir malam lebih saya sukai daripada awal malam. Apabila malam dikelompokkan kepada tiga bagian, maka pada pertengahan malam lebih saya sukai untuk mendirikan shalat.

Apabila seseorang luput dari mengerjakan shalat Witir sehingga ia mengerjakan shalat Subuh, maka ia tidak harus menggantinya.

IbnuMas’ud berkata, “Witir itu di antara shalat Isyadan Subuh. Apabila seseorang tidak sempat mengerjakan dua rakaat shalat Subuh sehingga datang waktu shalat Zhuhur, maka ia tidak perlu mengganti (qadha) witir tersebut, karena Abu Hurairah berkata, ‘Apabila shalat telah didirikan, maka tidak ada shalat selain shalat fardhu’.”

Pemyataan Imam Asy-Syafi’i tentang witir juga terdapat saat membahas perbedaan pendapat antara Ali dan Ibnu Mas’ud.

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

“Witir itu ada tiga macam. Barangsiapa menghendaki mengerjakan witir pada awal malam, maka hendaklah ia mengerjakannya. Apabila ia bangun dari tidur dan hendak menggenapkannya dengan satu rakaat dan mengerjakan shalat dua rakaat-dua rakaat hingga datang waktu Subuh yang apabila ia menghendaki, maka ia dapat melaksanakan witir itu pada akhir malam.”

Mereka memandang makruh seseorang yang membatalkan witirnya dengan mengatakan bahwa, “Apabila hendak mengerjakan witir, maka kerjakanlah dua rakaat-dua rakaat.”

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu datang kepada kami dimana kami sedang memperhatikan tanda-tanda permulaan subuh, lalu beliau berkata, “Shalat, shalat!” Ketika manusia terbangun, beliau mengatakan, “Ya! Ini adalah saat untuk shalat witir.” Apabila telah terbit fajar, beliau mengerjakan shalat dua rakaat lalu mengerjakan shalat Subuh.

Pada kitab Buwaithi disebutkan bahwa yang dibaca pada shalat fajar, yaitu Qulyaa ayyuhal kaafirun dan qul huwallahu ahad, dan ini lebih saya sukai. Namun apabila dibacakan selain surah ini bersama surah Al Faatihah, maka hal itu cukup memadai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *