Shalat Orang Sakit

Imam Syafi’i berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman, “Peliharalah segala shalat (mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. ” (Qs. Al Baqarah(2): 238)

Dikatakan —dan Allah Subhanahu wa Ta ’ala yang Maha Tahu— bahwa kata Qanitiin berarti, mematuhi perintah Allah (muthi ’in), dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan shalat dengan berdiri.

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar mengerjakan shalat bersama orang banyak. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati ada keringanan (dari sakitnya), maka beliau datang dan duduk dekat Abu Bakar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami Abu Bakar dalam keadaan duduk, sementara Abu Bakar mengimami orang banyak dalam keadaan berdiri (Tartib Musnad Imam Syafi’i dalam pembahasan tentang shalat, bab ke-7 “Fii Jama’ati wa Ahkamiha Al Imaamah”, hadits no. 339 hal. 113, juz. 1)

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair Al- Laits bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar untuk mengeijakan shalat Subuh bersama orang banyak, kemudian Abu Bakar bertakbir untuk shalat. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat sedikit keringanan (dari sakitnya), kemudian beliau berdiri melewati shaf-shaf orang banyak.

Ubaid bin Umar Al-Laits meneruskan kisahnya, “Abu Bakar tidak menoleh kemana-mana apabila ia sedang mnegerjakan shalat, namun ia mendengar bunyi gerakan dari belakangnya. Ia tahu bahwa tidak ada yang maju ke tempat terdepan itu kecuali Rasulullah. Lalu Abu Bakar mundur ke belakang ke shaf shalat, namun ditolak oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam ke tempatnya. Lantas Rasulullah duduk di sampingnya dan Abu Bakar tetap berdiri. Sehingga tatkala Abu Bakar selesai dari shalatnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Aku melihat engkau sudah patut (mampu) menjadi imam, dan ini adalah hari bintu Kharijah.”

Setelah itu, Abu Bakar kembali ke rumahnya sementara Rasulullah tetap berada di tempatnya. Beliau duduk dekat kamar dan memperingatkan orang banyak tentang fitnah-fitnah yang akan terjadi di kemudian hari, beliau berkata,

“Demi Allah, tidaklah manusia itu memegang sesuatu apapun yang dariku, kecuali sesungguhnya aku -demi Allah- tidak menghalalkan sesuatu selain yang dihalalkan Allah dalam kitab- Nya. Aku tidak mengharamkan sesuatu kecuali yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Wahai Fathimah binti Rasulullah dan Safiyyah, beramallah di sisi Allah, karena sesungguhnya Aku tidak dapat membantu kalian di hadapan Allah Subhanahu wa Ta ’ala. ”16

Imam Syafi’i berkata: Boleh bagi imam mengerjakan shalat dalam keadaan duduk, dan makmum di belakangnya berdiri apabila sanggup berdiri. Tidak sah shalat seseorang yang sanggup berdiri namun ia mengambil posisi duduk. Begitu juga apabila imam mampu berdiri, maka hendaklah ia berdiri. Barangsiapa tidak sanggup berdiri apabila menjadi makmum, maka ia boleh mengerjakan shalat dalam keadaan duduk.

Imam Syafi’i berkata: Apabila orang yang mengerjakan shalat itu sanggup ruku namun tidak sanggup berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dalam posisi ruku. Apabila ia sampai pada gerakan ruku, cukup merundukkan badan lebih rendah dari posisinya ketika berdiri tadi, kemudian sujud.

Apabila ia tidak sanggup mengerjakan shalat selain dengan berbaring, maka ia boleh mengerjakannya dalam keadaan berbaring dan mengisyaratkan gerakan shalat sedapat mungkin.

Imam Syafi’i berkata: Setiap orang saya perintahkan untuk mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuannya.

Apabila ia mendapatkan beberapa kesukaran serta kesulitan yang mungkin dapat ditanggung, maka ia tetap melaksanakan kewajiban shalat sebagaimana yang difardhukan Allah kepadanya.

Apabila ia sanggup berdiri namun menghadapi beberapa kesulitan, maka ia boleh berdiri dan mengerjakan apa yang wajib atasnya ketika berdiri mulai dari membaca surah Al Faatihah (ummul Qur’an). Namun saya menyukai apabila ia menambah surah-surah pendek yang menyertai surah Al Faatihah. Hanya saja saya menyuruhnya untuk mengerjakan shalat sambil duduk apabila ia kesulitan atau tidak sanggup menanggungnya, atau ia tidak dapat berdiri dalam keadaan bagaimanapun. Demikian pula halnya saat ruku dan sujud.

Demikian pula apabila ia sanggup untuk membaca Al Faatihah dan menyertainya dengan surah Al Ikhlas, serta pada rakaat yang lain ia membaca Al Faatihah dengan surah Al Kautsar, dalam keadaan sendirian dan dengan berdiri, dan ia tidak sanggup shalat bersama imam, maka ia tidak membaca bacaan yang lebih panjang dari yang saya terangkan kecuali dengan duduk.

Saya perintahkan kepada seseorang agar melakukan shalat sendirian jika tidak kuat untuk shalat bersama imam karena sakit. Apabila ia shalat bersama imam, lalu sanggup berdiri pada sebagian rakaat dan tidak sanggup pada sebagian yang lain, maka ia boleh berdiri sesuai dengan kemampuannya dan boleh duduk pada bagian yang tidak disanggupi, tidak perlu baginya mengulangi shalat.

Apabila ia memulai shalat dengan berdiri kemudian ia mengalami kesulitan, maka ia boleh duduk. Namun apabila halangan itu hilang, maka ia harus tetap berdiri. Apabila ia telah membaca bacaan shalat pada waktu duduk, maka ia tidak perlu mengulanginya lagi ketika berdiri, namun ia hanya meneruskan bacaan itu.

Imam Syafi’i berkata: Begitu juga budak wanita yang telah melahirkan anak majikannya (ummul walad), budak wanita yang menebuskan dirinya dengan membayar secara kredit, budak wanita yang dijanjikan merdeka setelah tuannya wafat (Al Mudabbarah) dan budak wanita umumnya yang mengerjakan shalat bersama tanpa mukena, kemudian mereka dimerdekakan sebelum menyempumakan shalatnya, maka bagi mereka adalah mengenakan mukena dan menyempurnakan shalat. Jika mereka meninggalkan memakai mukena setelah memungkinkan, maka mereka harus mengulangi shalatnya itu.

Jika mereka mengerjakan shalat tanpa mukena dan mereka telah dimerdekakan, namun mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah dimerdekakan, maka mereka hams mengulangi seluruh shalat yang dikerjakan tadi dengan tanpa mukena dari hari mereka dimerdekakan, karena mereka mengetahui kembali masa kebebasan’itu, maka mereka hams kembali kepada hal yang diyakininya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *