Imam Syafi’i berkata: Pendapat tentang tamar adalah seperti pendapat tentang biji-bijian. Tidak boleh dilakukan salaf pada tamar hingga disifatkan pada tamar lain, baik tamar Barni, ‘Ajwa atau Bardi. Apabila jenis-jenis itu berbeda di beberapa negeri, maka tidak boleh dilakukan salaf padanya hingga dikatakan tamar Bardi negeri anu atau dari tamar ‘Ajwa negeri anu. Tidak diperbolehkan menyebut suatu negeri kecuali negeri yang berada di dunia ini, yang luas, banyak tumbuh-tumbuhannya, yang sejahtera dan aman dengan izin Allah Ta ‘ala.
Imam Syafi’i berkata: Hal-hal yang disifatkan padanya adalah dari segi tebal atau besar, tipis, baik atau buruknya, karena terkadang pengertian “baik” dipakai atas apa yang tipis dan atas apa yang lebih dari itu. Terkadang nama buruk dipakai atas yang tebal, maka makna buruknya adalah yang tidak tipis.
Imam Syafi’i berkata: Apabila ada penjualan tamar secara salaf, maka tamar tidak boleh diambil selain yang kering. Sebab, yang dinamakan tamar adalah kurma yang kering dan ia tidak boleh diambil apabila ditunjukkan kepada orang yang mengetahui tentang tamar, lalu ia berkata, “Ada kekurangan padanya”.
Imam Syafi’i berkata: Tidak baik melakukan jual-beli dengan cara salaf pada makanan, kecuali yang ditakar atau ditimbang. Adapun yang dihitung tidaklah diperbolehkan. Diperbolehkan melakukan jual-beli dengan cara salaf pada buah tin yang kering dan pada semua buah-buahan yang kering dengan memakai takaran, sebagaimana melakukannya pada tamar. Diperbolehkan untuk melakukan jual-beli secara salafpada sesuatu yang ditakar dalam keadaan belum kering, sebagaimana dilakukan salam pada buah ruthab itu sendiri. Pendapat tentang sifat-sifat, penamaan dan jenis-jenisnya adalah seperti pendapat pada ruthab yang sama.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang melakukan jual-beli secara salam terhadap buah yang sejenis dengan tamar, lalu ia memberikan yang lebih bagus atau yang lebih buruk darinya, namun keduanya sama-sama ridha, maka hal ini tidak membatalkan syarat di antara keduanya. Yang demikian itu diperbolehkan, sebab itu merupakan pembayaran, bukan penjualan. Tetapi jika ia memberikan ganti tamar itu dengan gandum atau yang lainnya, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena iamemberikan barang yang bukan dari jenisnya. Yang demikian berstatus penjualan barang yang belum diterima sebagai penjualan tamar dengan gandum.
Imam Syafi’i berkata: Tidak ada kebaikan melakukan salaf pada sesuatu yang dimakan dengan dihitung, sebab sifatnya tidak dapat diketahui. Diperbolehkan melakukan salaf pada makanan jenis kharbaz dengan syarat disebutkan besar atau kecilnya, atau kharbaz suatu negeri dengan ditimbang sekian dan sekian. Apa yang masuk timbangan karena termasuk bilangan itu, maka (hal itu bisa) tidak termasuk pada bilangan jika yang termasuk timbangan itu kurang sifatnya. Begitu pula halnya dengan buah safarjal, mentimun dan lain sebagainya dari yang dijual manusia dengan melakukan penaksiran ketika masih berada dalam keranjang. Tidak baik dilakukan salaf padanya kecuali setelah ditimbang, karena jika dihitung akan mengakibatkan perbedaan. Jika hal itu berbeda dalam takarannya hingga masih ada yang tertinggal sedikit dari takaran yang kosong,maka tidak boleh dilakukan salaf padanya dengan takaran.