Imam Syafi’i berkata: Rasul SAW meringkas shalat dalam perjalanannya ke Makkah, yaitu perjalanan selama sembilan atau sepuluh malam, maka hal ini menunjukkan bahwa seseorang boleh meringkas shalat dalam perjalanan yang membutuhkan waktu seperti perjalanan Rasulullah SAW, atau lebih lama dari itu. Tidak boleh mengqiyaskan perbuatan Rasulullah yang meringkas shalat kecuali pada salah satu dari dua cara di bawah ini;
Pertama, diqiyaskan pada perjalanan yang memakan waktu yang sama seperti itu, atau yang lebih lama darinya. Namun karena kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya meringkas shalat pada perjalanan yang kurang dari waktu tersebut, maka qiyas ini tidak dapat diterapkan. Untuk itu kita mengambil cara kedua, yakni beliau SAW telah meringkas shalat saat safar.
Tidak dinukil dari beliau SAW larangan untuk meringkas shalat pada perjalanan yang kurang dari masa perjalanan beliau. Demikian juga tidak ada larangan untuk meringkas shalat dalam suatu perjalanan yang bisa disebutkan sebagai safar, sebagaimana halnya tayamum dan shalat sunah di atas kendaraan boleh dikerjakan pada setiap perjalanan yang dapat disebut sebagai safar.
Belum sampai kepada kami keterangan tentang meringkas shalat pada perjalanan yang menghabiskan waktu selama dua hari, hanya saja kebanyakan orang di tempat kami yang menimba ilmu mengatakan tidak boleh meringkas shalat pada perjalanan yang memerlukan waktu kurang dari dua hari. Maka menurut pendapat saya, boleh bagi seseorang meringkas shalat bila melakukan perjalanan yang menghabiskan waktu selama dua hari (sama dengan 46 mil), dan tidak boleh meringkas shalat bila kurang dari itu. Adapun saya lebih menyukai untuk tidak meringkas shalat pada perjalanan yang kurang dari tiga hari sebagai suatu sikap kehati-hatian, dan meninggalkan meringkas shalat hukumnya mubah (boleh) menurut pendapat saya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang hendak melakukan perjalanan yang dibolehkan meringkas shalat padanya, maka hendaknya ia tidak meringkas shalatnya hingga ia keluar dari tempat tinggalnya, sama saja apakah tempat tinggalnya itu sebuah desa atau padang luas. Apabila sebuah desa, maka ia tidak boleh meringkas sebelum melewati rumah-rumah di desa itu, sehingga tidak ada lagi rumah di hadapannya, baik tersendiri maupun bersambungan.
Apabila berada di padang luas, maka ia tidak harus meringkas sebelum melewati tempat tinggal yang ada di padang itu. Apabila berada dalam lembah, maka ia boleh meringkas setelah melintasi lebarnya lembah itu. Apabila berada di kota, maka boleh meringkas sampai ia melewati sesuatu yang berdekatan dari tempat tinggalnya. Apabila ia tidak melewati apa yang saya terangkan, maka ia harus mengulangi shalat yang diringkasnya itu.
Imam Syafi’i berkata: Apabila ia hendak menuju suatu negeri yang mempunyai dua jalan, dimana pada jalan yang pertama apabila dilalui maka jaraknya tidak menjadikan shalat diqashar, adapun jalan yang kedua apabila dilaluinya maka akan menjadikan ia meringkas shalat, maka jalan mana saja yang ia lalui, saya berpandangan bahwa ia tidak perlu meringkas shalatnya.
Hanya saja boleh baginya meringkas shalat, apabila tidak ada jalan lain ke negeri itu selain jalan yang jaraknya memperkenankan untuk meringkas shalat, kecuali bila terdapat musuh yang ditakuti akan mengganggu perjalanannya.
Imam Syafi’i berkata: Meringkas shalat dapat dilakukan oleh orang sakit atau orang sehat, budak atau orang merdeka, perempuan atau laki-laki, apabila mereka mengadakan perjalanan bukan dengan tujuan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta ’Ala.
Adapun musafir yang mempunyai maksud berbuat zhalim kepada orang Islam atau bertujuan untuk merampok dan membuat kerasakan di muka bumi, atau seorang budak yang melarikan diri dari majikannya, melarikan diri dari kewajiban yang harus dilaksanakannya, maka ia tidak boleh meringkas shalatnya. Apabila ia meringkasnya, maka ia harus mengulangi shalatnya, karena meringkas shalat (gashar) merupakan keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta ’Ala yang tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta ’Ala. Apakah Anda tidak membaca firman Allah Subhanahu wa Ta ’Ala dalam Al Qur’an, “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. ’’ (Qs. AL Baqarah(2): 173)