Imam Syafi’i berkata: Tidak ada perbedaan antara shalat fardhu ketika dalam perjalanan atau tidak, kecuali dalam masalah adzan, waktu dan qashar (meringkas). Adapun untuk selain itu adalah sama. Shalat-shalat yang dibaca dengan mengeraskan atau merendahkan suara saat safar itu juga dibaca dengan keras atau pelan saat mukim. Gerakan shalat saat safar dikerjakan dengan sempurna, sebagaimana halnya dikerjakan saat mukim. Adapun mengerjakan dengan ringan, apabila seseorang telah melakukan batasan minimal yang wajib dilakukan, baik saat safar maupun mukim, maka hal itu telah mencukupi (sah) baginya. Saya tidak berpandangan seseorang boleh mengerjakan shalat dengan ringan saat safar, kecuali apabila ada udzur seraya melakukan batas minimal sehingga shalatnya dianggap mencukupi (sah). Masalah imam dan makmum saat safar dan mukim adalah sama.
Saya tidak menyukai meninggalkan adzan saat safar, walaupun meninggalkannya dalam perjalanan lebih ringan daripada meninggalkan saat mukim.
Orang yang hendak melakukan perjalanan tidak meringkas shalatnya sebelum ia melewati rumah-rumah di negeri yang ditinggalkannya. Apabila ia sampai di rumah paling ujung pada negeri dimana ia hendak menetap di Sana, maka ia harus melakukan shalat dengan sempurna (tidak meringkasnya lagi).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Saya mengerjakan shalat Zhuhur empat rakaat bersama Rasul SAW di Madinah, dan saya mengerjakan shalat Ashar bersama beliau di Dzulhulaifah dua rakaat. ”
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak meringkas shalat dengan sebab niat akan safar sebelum mengerjakannya secara langsung.
Apabila seseorang bemiat safar namun ia belum merealisasikan niatnya, maka ia tidak boleh meringkas shalat. Apabila ia telah merealisasikannya, namun ia berniat untuk mukim, maka ia boleh menyempurnakan shalatnya.
Niat tidak memiliki hukum apapun tanpa ada sesuatu yang menyertainya. Apabila seseorang keluar untuk safar, kemudian ia meringkas shalat (menjamak) antara Zhuhur dan Ashar. Namun sebelum menyelesaikan 2 rakaat shalat Zhuhur ia bemiat untuk mukim, maka ia harus menemukan shalat sampai menyempurnakan empat rakaat. Ia tidak harus memulai kembali, karena ia mengerjakan fardhu Zhuhur bukan pada shalat yang lain, dan ia memiliki hak untuk meringkas shalat selama belum timbul niatnya untuk mukim. Demikian juga apabila ia telah menyelesaikan dua rakaat sebelum memberi salam. Apabila ia telah memberi salam lalu berniat mukim, maka ia boleh menyempurnakan shalat-shalat berikutnya, namun tidak harus mengulangi shalat yang telah lalu.
Apabila ia berniat mukim saat mengerjakan shalat Zhuhur, kemudian ia memberi salam pada rakaat kedua, maka ia harus mengulangi shalat Zhuhur itu dengan empat rakaat shalat.
Imam Syafi’i berkata: Apabila musafir mengerjakan shalat di belakang musafir lainnya, lalu shalatnya rusak, lantas ia pergi berwudhu dan ia mengetahui bahwa temannya sesama musafir itu telah mengerjakan shalat dua rakaat, maka ia boleh mengerjakan dua rakaat. Namun apabila ia mengetahui bahwa temannya itu telah shalat empat rakaat, atau ia ragu apakah ia shalat dua rakaat atau empat rakaat, maka ia harus mengerjakan empat rakaat, tidak ada yang mencukupi baginya selain itu.
Apabila musafir mengerjakan shalat satu rakaat di belakang orang yang tidak diketahui apakah ia musafir atau mukim, kemudian imam menyudahi shalatnya, atau karena shalatnya rusak atau batal wudhunya, maka ia harus mengerjakan shalat empat rakaat.
Apabila seorang musafir mengerjakan shalat dengan musafir atau orang-orang mukim, lalu musafir itu terkena mimisan, kemudian ia mempersilakan seorang yang mukim maju ke depan, maka mereka harus mengerjakan empat rakaat, karena shalat mereka tidak sempurna sehingga mereka mengikuti shalat orang yang mukim.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seorang musafir shalat mengikuti seseorang, dan ia tidak mengetahui dengan pasti apakah orang yang di depannya itu seorang yang musafir atau mukim, maka ia harus mengerjakan shalat empat rakaat. Kecuali apabila ia mengetahui bahwa orang yang ada di hadapannya itu hanya mengerjakan dua rakaat, maka dalam hal ini ia mengerjakan dua rakaat pula.
Apabila seorang musafir memulai shalatnya dengan niat qashar, kemudian ia ragu apakah posisinya dianggap musafir atau mukim, maka ia harus mengerjakan shalat empat rakaat.
Apabila ia teringat bahwa ia memulai shalatnya dengan niat qashar setelah ia lupa, maka ia harus menyempurnakan shalat (tidak meringkas). Apabila ia merusakkan (membatalkan) shalatnya, maka ia harus mengerjakannya dengan tanpa meringkas, tidak ada sesuatu yang mencukupinya selain itu. Apabila seseorang memulai shalat Zhuhur tanpa meniatkan untuk meringkas atau tidak meringkas, maka ia harus mengerjakannya sebanyak empat rakaat dan tidak boleh baginya meringkas menjadi dua rakaat. Apabila seseorang berada dalam perjalanan (safar) lalu ia meringkas sebagian shalat dan sebagian lagi tidak diringkas, maka hal itu boleh baginya.