Imam Syafi’i berkata: Sebagian orang berpendapat bahwa thawaf itu tidak sah kecuali dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Apabila ada seseorang melakukan haji atau umrah, kemudian ia thawaf wajib (thawaf Ifadhah) di Baitullah dalam keadaan tanpa wudhu, maka ia harus mengulang lagi thawafnya. Tapi apabila ia sudah kembali ke negerinya, maka ia tidak berkewajiban untuk mengulang lagi. Apabila thawaf tersebut dilakukan dalam keadaan junub, maka ia harus mengulang thawafnya itu walaupun ia sudah kembali ke negerinya. Orang yang berpendapat bahwa thawaf tidak sah apabila dilakukan dalam keadaan tidak suci, berarti dia sependapat dengan kami; yaitu bahwa orang yang thawaf di Baitullah adalah seperti orang yang sedang shalat (harus dalam keadaan berwudhu), tidak seperti dzikrullah yang lain, dan juga tidak seperti amalan-amalan haji dan umrah yang lain selain thawaf. Jika seseorang berkata, “Apabila thawaf itu sama seperti shalat dalam hal berwudhu, maka orang yang junub sama hukumnya dengan orang yang tidak berwudhu, karena dua-duanya dalam keadaan yang tidak suci serta tidak boleh melakukan shalat.”
ImamSyafi’i berkata: Saya menjawab pertanyaan orang itu, “Ya.” Jika dia berkata, “Kalau begitu, saya tidak sependapat dengan Anda, tapi saya berpendapat bahwa thawaf itu adalah sama seperti amalan-amalan haji lainnya (boleh dilakukan dalam keadaan tanpa wudhu).” Jawabannya, “Kalau begitu, kenapa Anda menyuruh orang yang berthawaf dalam keadaan tanpa wudhu agar mengulang thawafnya, sementara Anda membolehkan seseorang memulai thawaf dalam keadaan tanpa wudhu?” Dia menjawab, ‘‘Sesungguhnya saya berpendapat bahwa orang tersebut tidak perlu mengulang thawafnya.” Saya katakan kepadanya, “Kalau begitu, engkau telah menyalahi Sunnah (Nabi SAW melarang Aisyah untuk thawaf di Baitullah dalam keadaan haid).” Dia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW melarang Aisyah yang sedang haid untuk thawaf di Baitullah, adalah karena orang yang sedang haid dilarang masuk masjid.” Saya katakan, “Apakah engkau berpendapat bahwa orang musyrik dan orang yang sedang junub boleh masuk masjid?” Dia menjawab, “Saya tidak berpendapat seperti itu, akan tetapi saya berpendapat bahwa thawaf itu seperti shalat yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan suci, akan tetapi orang yang junub keadaannya lebih tidak suci dibandingkan dengan orang yang tidak wudhu.” Saya katakan, “Apakah engkau menemukan perbedaan antara orang yang junub dengan orang yang tidak wudhu dalam masalah shalat?” Dia menjawab, “Tidak.” Saya katakan, “Apapun yang ingin engkau katakan, katakanlah. Akan tetapi janganlah engkau melampaui batas dalam menyalahi Sunnah dan kebanyakan pendapat para ulama yang mengatakan bahwa orang yang tidak suci (tidak berwudhu) tidak boleh thawaf di Baitullah. Maka, katakanlah olehmu bahwa tidak boleh thawaf di Baitullah kecuali orang-orang yang suci, sehingga engkau akan mengatakan (kepada orang yang thawaf dalam keadaan tanpa wudhu dan sudah kembali ke negerinya) agar kembali lagi untuk melakukan thawaf, karena dia seperti orang yang belum melaksanakan thawaf.”