Penjualan dengan Tempo

Imam Syafi’i berkata: Prinsip yang ditempuh oleh orang yang berpendapat tentang jual-beli dengan tempo adalah bahwa mereka meriwayatkan sebuah hadits dari Aliyah binti Anfa‘, bahwasanya ia mendengar Aisyah atau ia mendengar istri Abu Safar meriwayatkan hadits tersebut dari Aisyah bahwasanya ada seorang wanita yang bertanya kepada Aisyah tentang penjualan yang dilakukannya kepada Zaid bin Arqam seharga sekian dan kepada Atha’ dengan harga sekian. Kemudian ia membelinya dari Atha dengan harga kurang dari harga tersebut secara tunai.

Mengetahui halitu,Aisyah berkata, “Sungguh buruk apa yang Anda beli! Beritahukan kepada Zaid bin Arqam bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala membatalkan pahala jihadnya bersama Rasulullah, kecuali jika ia bertaubat.”

Imam Syafi’i berkata: Bisa jadi Aisyah jika hal ini benar berasal darinya mencela wanita tersebut karena adanya transaksi jual-beli seperti itu kepada Atha’, sebab penjualan itu ditangguhkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Tentu saja hal ini tidak kami perbolehkan. Sebenarnya Aisyah tidak mencela wanita itu atas apa yang telah dibeli dari Atha’ dengan pembayaran tunai dan menjual kepadanya dengan pembayaran secara tempo. Riwayat tentang bolehnya dilakukan penjualan kepada Atha bukan hanya diriwayatkan dari satu perawi, namun banyak periwayat lainnya.

Sesungguhnya kami memilih untuk tidak menjual kepadanya, karena terkadang Atha’ itu terlambat membayar dan terkadang tidak, padahal waktu-waktu tangguhan itu diketahui dengan hari-hari yang ditentukan waktunya atau dengan bulan-bulan yang telah ditentukan, sedangkan dasar hal tersebut terdapat dalam Al Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta ’ala, “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang bulan. Katakanlah bulan itu adalah waktu bagi manusia dan haji. ” (Qs. Al Baqarah(2): 189) “Berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. ” (Qs. Al Baqarah (2): 203) “Maka bilangan dari hari-hari lain. ” (Qs. Al Baqarah(2): 184) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan waktu dengan menggunakan peredaran bulan, sebagaimana Dia telah menentukan waktu dengan bilangan. Anugerah itu bukan merupakan waktu-waktu Allah Ta ‘ala.

Terkadang waktu itu terlambat dan terkadang bergerak lebih cepat, namun terlambatnya bulan itu selamanya tidak lebih dari satu hari. Apabila seseorang membeli suatu barang, kemudian ia menerimanya sedangkan harganya ditangguhkan hingga tempo tertentu, maka diperbolehkan baginya untuk menjual barang tersebut dari orang yang membeli darinya dan dari orang lain dengan pembayaran tunai yang kurang atau lebih dari apa yang telah dibelinya, dengan berutang ataupun dengan barang yang menyerupai barang yang diinginkannya. Dengan cara apapun, penjualan kedua bukanlah dari penjualan pertama.

Imam Syafi’i berkata: Sesuatu yang dapat dimakan dan diminum itu seperti dinar dan dirham. Jika Anda menjual suatu jenis dengan jenisnya, maka hal itu tidak diperbolehkan, kecuali yang sama dan sejenis serta dibayar tunai. Jika makanan itu dapat ditakar, maka harus ditakar; dan jika ditimbang, maka harus ditimbang pula. Apabila dua jenis itu berbeda, maka salah satunya diperbolehkan melebihi yang lainnya. Diperbolehkan untuk membelinya dengan memakai cara taksiran dengan taksiran, karena biasanya taksiran itu ada lebih dan kurangnya. Sementara kurang-lebih yang ada padanya itu diperbolehkan.

Apabila seseorang mengeluarkan (mengubah) sesuatu darijenis emas atau perak, makanan atau minuman dari bentuk asalnya, lalu muncul suatu nama yang bukan nama aslinya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sesuatu apapun namanya tidak bisa terlepas dari asalnya, meskipun telah banyak diubah, sebagaimana halnya jika seseorang sengaja mengubah beberapa dinar untuk dijadikan wadah air, kubah atau pakaian yang mana hal itu tidak diperbolehkan melainkan harus sama dan seimbang.

Sebagaimana halnya seseorang sengaja mengubah tamar yang telah di buang bijinya atau belum, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang, bejana besar atau lsrinnya, maka tamar seperti ini tidak baik dijual dengan tamar yang sama dan seimbang, karena asal keduanya adalah takaran. Terkadang timbangan dengan timbangan berbeda pada pokok takarannya. Begitu pula tidak diperbolehkan gandum ditimbang dengan tepung.

Imam Syafi’i berkata: Setiap makanan yang basah lalu menjadi kering, maka tidak diperbolehkan menukar makanan yang basah itu dengan makanan yang kering, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya (oleh seseorang) tentang hukum penjualan ruthab dengan tamar, lalu beliau balik bertanya, “Apakah kurma yang basah itu akan berkurang timbangannya jika menjadi kurma kering?” Kemudian orang itu menjawab,Ya.” Akhirnya Rasulullah melarang jual-beli semacam itu, sepertinya beliau melihat akibat dari penjualan semacam itu. Demikian juga, kita dapat melihat pada akibat penjualan seperti itu. Maka, tidak diperbolehkan menjual ruthab dengan ruthab. Hal itu disebabkan, jika keduanya mengering, maka beratnya akan berkurang. Dan, kelebihan yang ada pada salah satunya adalah sebagai akibat.

Suatu makanan yang basah, seperti minyak zaitun, minyak samin, madu, dan susu yang tidak dapat kering dengan sendirinya, maka diperbolehkan untuk menjual sebagian dengan sebagian yang lainnya. Jika termasuk dalam kategori makanan yang dapat ditimbang, maka keduanya harus ditimbang. Sebaliknya,jika ia termasuk dalam kategori makanan yang ditakar, maka keduanya harus ditakar dengan sama, seimbang dan tidak boleh ada yang lebih atau kurang sehingga mengakibatkan keduanya saling berbeda.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menjual/menukar buah atau pohon kurma dengan gandum, lalu keduanya saling menerima, maka penjualan seperti itu diperbolehkan, karena tidak adanya tempo dalam jualbeli itu. Selain itu, sayajuga menganggap penerimaan pohon kurma itu sebagai suata persetujuan (dalam jual-beli), sebagaimana saya menganggap penerimaan dengan taksiran itu sebagai suatu penerimaan pula.

Apabila pembeli membiarkan apa yang telah dibelinya tanpa adanya penghalang, maka pembelian seperti itu diperbolehkan. , Jika saya membiarkan, maka sikap membiarkan itu berasal dari pihak saya. Jika saya mendapat suatu musibah, maka hal itu telah menjadi tanggung jawab saya, karena saya telah menerimanya. Jika saya membeli dengan syarat bahwa saya tidak akan menerimanya hingga esok hari atau lebih lama lagi, maka penjualan seperti itu tidak diperkenankan, karena saya membeli makanan dengan makanan hingga pada suatu tempo.

Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan menukar/barter susu dengan susu kecuali yang sama nilainya, sama takarannya, dan dilakukan/ dibayarkan secara langsung. Dan, tidak diperbolehkan (menukar susu) jika susu tersebut tercampur dengan sedikit air. Selain itu, tidak diperbolehkan pula menukar susu dengan sesuatu yang tercampur air, karena air itu adalah air (bukan susu). Tidak diperbolehkan pula mencampur susu dengan susu yang tidak diketahui, sementara susu itu banyak macamnya. Karena itu, diperbolehkan menjual susu kambing dengan susu biri-biri atau susu kambing hutan.

Diperbolehkan juga menjual susu sapi dengan susu kerbau, sebagaimana diperbolehkan pula menjual susu unta dengan unta Arab. Semua binatang yang disebutkan di atas adalah sama dan sejenis. Kambing itu sama dan sejenis dengan biri-biri, sapi sama dan sejenis dengan kerbau, unta sama dan sejenis dengan unta Arab. Sedangkan setiap jenis yang bukan temannya, maka diperbolehkan untuk dijual sebagian dengan yang lainnya secara lebih kurang, secara langsung, dan tidak boleh ada tangguhan.

Imam Syafl’i berkata: Daging itu tidak dapat dijual dengan harga hewan pada setiap keadaan dari jenisnya ataupun bukan dari jenisnya.

Imam Syafi’i berkata: Dari Said bin al Musayyab bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang penjualan hewan dengan daging.

Imam Syafi’i berkata: Sebenarnya sama saja, apakah daging itu berbeda dengan hewan ataupun tidak berbeda.

Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan mengambil ganti daging biri-biri yang telah sampai waktunya dengan daging sapi, karena itu merupakan penjualan makanan yang belum sempurna.

Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan menjual kepala dan kulit hewan secara salaf dilihat dari sisi bahwasanya kulit itu tidak diketahui ukuran hastanya dan penciptaannya pun berbeda. Kulit binatang itu tidak sama ketebalan dan kekerasannya. Selain itu, takaran dan timbangan kulit juga tidak sama. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menjual kepala-kepala hewan secara salaf, karena timbangannya tidak sama dan tidak dapat ditentukan dengan ketentuan sifat. Akan tetapi, diperbolehkan kulit-kulit itu dijual sebagaimana hewan juga dapat dijual dengan suatu sifat, dan tidak boleh dibeli kecuali secara langsung.

Imam Syafi’i berkata: Seseorang tidak diperbolehkan membeli susu kambing yang diketahui dari asal yang sama secara salaf, baik itu disebutkan takarannya ataupun tidak, sebagaimana tidak diperbolehkan menjual buah dari hasil suatu kebun dan taman itu sendiri.

Imam Syafi’i berkata: Seseorang tidak diperbolehkan membeli makanan yang ada ditempat (hadir) dengan syarat pembelian itu diselesaikan di suatu negeri, dan setelah itu ia akan membawanya ke tempat yang lain. Tidak sahnya jual-beli itu dilihat dari beberapa sisi. Salah satu sisi tersebut adalah apabila ia menyelesaikan penjualannya di suatu negeri, maka penjual tersebut bebas dari tanggung jawabnya dan pembeli harus membawanya. Jika barang tersebutrusak sebelum sampai ke negeri yang dituju, lalu ia tidak tahu berapa bagian penjualan dari bagian penyewaan, maka harga barang tersebut tidak diketahui, sementara penjualan itu sendiri tidak sah dengan harga yang tidak diketahui. Sedangkan jika ia mengatakan, “Makanan itu berada di bawah tanggung jawab pembawanya sehingga ia menyelesaikan penjualannya di negeri yang tengah dituju (negeri yang disyaratkan bahwa barang tersebut dibawa ke sana)”, berarti ia menduga bahwa membeli barang itu dengan syarat harus menyelesaikan jual-belinya di negeri tersebut.

Setelah itu, ia pun menyelesaikannya, sementara penjual tidak terlepas dari tanggung jawabnya. Saya tidak mengetahui penjual yang menyelesaikan jual-belinya melainkan ia telah terbebas dari tanggungjawabnya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang membeli minyak samin atau minyak zaitun yang ditimbang dengan tempatnya dan disyaratkan tempatnya masuk dalam timbangan, maka pembelian itu tidak diperbolehkan. Apabila ia membelinya dengan memakai cara timbangan dengan syarat harus mengosongkan tempatnya, lalu tempatnya ditimbang, maka pembelian seperti itu diperbolehkan. ‘

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang membeli makanan yang dilihatnya di sebuah rumah atau lubang, lalu ia mendapatkan di bagian bawahnya tidak sama dengan yang dilihatnya di bagian atasnya, maka pembeli dapat memilih apakah mengambil ataukah meninggalkannya, karena hal ini merupakan suatu kekurangan dan kekurangan tersebut tidak harus terjadi pada diri pembeli, kecuali ia menghendaki.

Imam Syafi’i berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga nampak kematangannya. Apabila kebun milik seseorang telah nampak kembangnya lalu biji-bijiannya pun semakin bertambah banyak. sebagian kembangnya berwarna merah dan kuning (menjadi mengkal), maka diperbolehkan untuk menjualnya dengan syarat buah tersebut dibiarkan hingga tumbuh baru. Jika di kebun tersebut belum nampak kembang buah seperti itu, maka belum boleh untuk dijual, meskipun telah nampak kembang di sekelilingnya, karena itu bukan berada di sekitar kebun tersebut.

Hal ini jika isi kebun tersebut adalah pohon kurma dan tidak ada pohon yang lain. Jika di dalam kebun itu ada pohon kurma, anggur dan lainnya, lalu salah satu dari pohon tersebut telah berkembang dan mengkal, maka jenis lainnya yang belum matang tidak boleh dijualjuga. Selain itu, tanaman yang buahnya berada di dalam tanah, seperti wortel, bawang, lobak dan yang sejenisnya tidak boleh dibeli. Tetapi, diperbolehkan untuk membeli daun dari tanaman tersebut, karena daun tersebut dapatterlihat oleh mata. Apabila nampak suatu kekurangan ataupun cacat (pada daun atau buah dari tanaman tersebut), maka pembeli boleh berkhiyar. Sementara saya tidak mengetahui penjualan lain yang berbeda dari tiga penjualan ini.

Imam Syafi’i berkata: Apabila pohon qurth atau biji-bijian telah nampak, lalu seseorang membelinya dengan syarat dipotong pada tempatnya, maka pembelian seperti itu diperbolehkan. Jika disyaratkan untuk tidak memotongnya, maka hal itu tidak diperbolehkan.

Apabila seseorang membeli buah yang belum nampak matang dengan syarat bahwa ia hams memetiknya, maka penjualan itu diperbolehkan dan pembeli harus memetiknya manakala sang pemilik pohon tersebut menginginkannya. Jika pemilik pohon membiarkannya, maka buah itu diperbolehkan menjadi milik pembeli. Manakala ia mengambilnya dengan cara memetik, maka ia dapat memetiknya. Jika ia membelinya dengan syarat membiarkannya hingga tiba waktunya, maka pembelian seperti itu tidak diperbolehkan. Jika ia memotong sesuatu darinya, lalu sesuatu itu ada yang seperti itu, maka ia harus mengembalikan yang seperti itu pula.

Dan, saya tidak mengetahui ada sesuatu yang seperti itu baginya. Tidak diperbolehkan membeli tamar kecuali secara tunai atau ditangguhkan hingga waktu yang diketahui. Yang dimaksud dengan waktu yang diketahui adalah hari tertentu dari bulan tertentu, atau awal bulan tertentu. Oleh karena itu,jual-beli tidak diperbolehkan hingga pada waktu yang diberikan dan bukan pada saat panen. Karenajika demikian, maka waktunya dapat maju ataupun mundur. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, “Apabila kalian berutang-piutang dengan suatu utang hingga waktu yang ditentukan. ” (Qs. Al Baqarah (2): 282) “Mereka bertanya kepadamu, hai Muhammad, tentang bulan yang baru, maka katakanlah, ‘Bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan (untuk mengetahui) saat pelaksanaan haji. (Qs. Al Baqarah (2): 189)

Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa menjual buah dari kebunnya, lalu ia memisahkan satu takaran darinya, maka penjualan seperti itu tidak sah, karena takaran itu terkadang hanya ada seperdua, sepertiga, lebih sedikit, atau bahkan lebih banyak. Maka, pembeli dianggap tidak membeli sesuatu yang diketahuinya, begitu juga dengan penjual. Tidak diperbolehkan mengecualikan taksiran barang yang dijualnya sebagai suatu barang yang lain, kecuali yang tidak termasuk dalam penjualan. Contohnya, pohon-pohon kurma yang dikecualikan dengan pohon-pohon kurma itu sendiri. Maka, hal itu berarti ada yang dijual selain itu atau sepertiga, seperempat atau sebagian dari beberapa bagian taksiran. Dengan demikian, yang tidak dikecualikan itu termasuk dalam penjualan dan yang dikecualikan berada di luar penjualan.

Adapun buah yang dijual dengan taksiran, maka buah tersebut tidak dapat diketahui kadar banyaknya dan ia mengecualikan suatu takaran yang diketahui darinya. Sedangkan penjualan seperti itu tidak diperbolehkan, karena penjual tidak mengetahui apa yang dijualnya, sementara pembeli pun tidak mengetahui apa yang dibelinya.

Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa menjual buah dari kebunnya kepada orang lain, lalu orang tersebut menerimanya, setelah itu keduanya berpisah, kemudian orang itu ingin membeli semua ataupun sebagiannya, maka penjualan seperti itu diperbolehkan.

Imam Syafi’i berkata: Apabila ada seseorang menyewa rumah, sementara di dalamnya ada sebatang pohon kurma yang telah matang buahnya dengan syarat bahwa buah itu menjadi milik penyewa, maka hal semacam itu tidak diperbolehkan, sebab hal itu adalah penyewaan dan penjualan. Lebih dari itu, terkadang penyewaan itu menjadi batal dengan robohnya rumah dan yang tersisa hanya buah pohon yang telah dibelinya itu, maka hal itu berarti bukan bagian dari harga yang diketahui. Sedangkan beberapa penjualan itu tidak diperbolehkan, kecuali harganya telah diketahui. Orang itu bertanya, “Terkadang ia membeli seorang atau dua orang budak, satu rumah atau dua rumah dengan satu akad jual-beli (bolehkah pembelian seperti itu)?” Seseorang menjawab, “Ya, diperbolehkan.” Jika penjualan salah satu dari dua benda yang dibelinya itu gugur, maka gugur pula semuanya dan barang itu dimiliki semuanya oleh budak, namun penyewaan tersebut tidak.

Manfaat penyewaan itu dapat dimiliki. dan manfaat itu bukanlah benda yang berdiri sendiri. Apabila ia ingin membeli buah-buahan dan menyewa rumah, maka rumah tersebut dapat disewa dengan suatu batas dan membeli buah-buahan pun dengan suatu batas. Kemudian, pembelian buah telah menghalalkan apa yang akan dihalalkan pada pembelian buah tanpa adanya penyewaan, dan haram yang ada di dalamnya juga mengharamkan apa yang ada padanya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila di antara suatu masyarakat terdapat kebun yang di dalamnya ada buah yang belum matang, kemudian mereka bermaksud ingin membaginya, maka dalam keadaan bagaimanapun tidak diperbolehkan untuk membagi buah tersebut. Begitu pula halnya jika buah tersebut telah terlihat masak, maka tidak diperbolehkan untuk membaginya, karena batang pohon kurma dan tanah tersebut mempunyai bagian harga dan buah tersebut pun mempunyai bagian harga. Maka, terjadilah antara buah dengan buah itu sesuatu yang tidak diketahui, baik dengan taksiran maupun dengan penjualan.

Selain itu, buah tersebut tidak boleh dibagi, kecuali keduanya dapat menerima pembagian dari pokoknya. Kemudian buah tersebut dapat mencukupi di antara keduanya, jika ada yang belum sampai umurnya ataupun ada yang telah sampai umurnya. Lebih dari itu, apabila buah tersebut telah sampai umurnya, maka diperbolehkan untuk dibagikan dengan taksiran sebagai suatu pembagian tersendiri. Apabila keduanya bermaksud ingin membagikan buah kurma tersebut beserta pohonnya, maka keduanya harus membagikannya dengan cara dijual. Setelah itu, keduanya memberikan harga masing-masing dengan harga tanah, pohon, dan buahnya. Kemudian keduanya mengambil harga dengan penjualan tersebut dan bukan dengan undian.

Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan membeli sesuatu yang 2 kan dipetik hasilnya dengan salah satu cara, kecuali jika (seseorang itu) membeli sebatang pohon kurma atau beberapa batang pohon yang telah ditentukan batangnya. Kemudian tanggungan semua pohon kurma tersebut beralih kepadanya, a dapat memperbaharui kapan saja ia kehendaki, ia (boleh) memetik buah-buahnya kapan saja, atau membeli semua dan memetik di tempatnya.

Tidak diperbolehkan ada pembelian kecuali pembelian barang tertentu yang sudah diterima jika dibelinya, serta tidak ada penghalang bagi orang yang menerimanya. Atau, ada sifat yang terjamin bagi pemiliknya. Dalam hal ini sama saja, baik itu dengan tangguhan dalam jangka waktu yang dekat, secara tunai, ataupun tangguhan dalam jangka yang jauh. Maka, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara hal yang demikian itu. Tidak diperbolehkan membeli sesuatu kecuali dengan harga yang telah diketahui pada saat keduanya mengadakan akad jual-beli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *