Imam Syafi’i berkata: Setiap orang yang sah melakukan jual-beli yaitu merdeka dan tidak dilarang membelanjakan hartanya), maka sah pula melakukan gadai. Setiap orang yang sah menggadai atau menerima gadai dari orang merdeka dan baligh serta tidak terlarang membelanjakan hartanya, maka sah baginya menerima gadai baik melalui pertimbangan maupun tanpa pertimbangan, karena boleh baginya menjual hartanya dan menghibahkannya dalam segala keadaan.
Jika boleh baginya menghibahkan harta, tentu boleh pula baginya menggadaikan tanpa pertimbangan.Bapak tidak boleh melakukan transaksi gadai atas nama anaknya, begitu pula wali anak yatim atas nama si yatim, kecuali gadai itu merupakan jaminan atas hak si anak atau si yatim yang belum tunai. Adapun meminjam harta orang lain dan menggadaikan harta milik si anak atau si yatim, maka hal itu tidak diperbolehkan. Barangsiapa di antara keduanya melakukan hal itu, maka ia bertanggung jawab atas harta yang ia ambil.
Budak mukatab dan budak yang diizinkan melakukan perdagangan boleh melakukan transaksi gadai, jika hal itu merupakan maslahat bagi mereka serta membawa keuntungan. Namun bila keduanya mengambil modal lalu memberi gadai, maka yang demikian tak diperkenankan. Akan tetapi hendaklah mereka melakukan transaksi jual-beli; dan bila masih ada hak yang belum tunai, maka boleh mengambil gadai.“Barangsiapa yang aku katakan tidak boleh melakukan transaksi gadai kecuali sebagai jaminan atas hak yang belum tunai; baik hak dirinya, anak yatim dalam asuhannya, anaknya, atau budak mukatab dan budak yang diizinkan berdagang, maka mereka semua tidak boleh menggadaikan sesuatu, sebab gadai adalah amanah dan utang adalah transaksi yang mengikat. Maka, gadai dalam segala keadaan merupakan kekurangan atas mereka. Oleh karena itu, mereka tidak boleh menggadaikan kecuali pada kondisi darurat yang dikhawatirkan harta mereka menjadi rusak atau yang sepertinya.
Laki-laki, wanita, muslim atau kafir boleh melakukan transaksi gadai. Seorang muslim boleh menggadaikan hartanya kepada orang kafir, begitu juga sebaliknya. Tidak satupun dari perkara itu yang aku tidak sukai kecuali bila seorang muslim menggadaikan mushaf kepada orang kafir. Jika hal itu terjadi, aku tidak membatalkan gadai itu, namun aku akan menyimpan mushaf yang digadaikan tersebut kepada orang muslim yang adil, lalu aku akan memaksa si kafir menerima hal itu jika ia tidak setuju. Aku tidak menyukai seorang muslim menggadaikan kepada orang kafir yang masih kecil maupun yang telah dewasa, agar seorang muslim tidak terhina karena berada dalam kekuasaan orang kafir, dan agar si kafir tidak memberi makanan dan minuman haram seperti babi atau khamer kepada budak muslim tersebut. Tapi bila hal ini terjadi, maka aku tidak membatalkannya.
Imam Syafl’i berkata: Aku tidak menyukai pula menggadaikan wanita budak yang telah baligh atau mendekati usia baligh yang telah menarik bagi seorang muslim, kecuali penerima gadai menerimanya lalu menempatkannya pada majikannya, atau menempatkannya pada wanita atau laki-laki yang menjadi mahram bagi wanita itu. Namun jika majikan menggadaikannya kepada seorang laki-laki lalu menyerahkannya, niscaya saya tidak membatalkan gadai tersebut.
Demikian pula bila si majikan menggadaikan budak wanita tadi kepada orang kafir. Hanya saja pada kasus ini saya akan memaksa si kafir untuk menempatkannya pada seorang muslim yang adil, dan ditempatkan pada wanita muslimah lebih aku sukai. Jika bukan ditempatkan pada wanita muslimah, maka hendaknya ditempatkan pada laki-laki muslim yang adil dan ada bersamanya seorang wanita yang adil pula. Jika pihak yang melakukan gadai sepakat menempatkan budak wanita yang digadaikan pada seorang laki-laki yang tidak amanah, maka saya akan memaksa keduanya agar mencari seorang laki-laki yang adil untuk ditempatkan padanya budak wanita yang digadaikan. Jika keduanya tidak melakukannya, maka aku memilih seorang yang adil untuk keduanya.
Hal ini tidak aku lakukan bila keduanya telah sepakat untuk menempatkan budak wanita itu pada majikannya atau penggadai. Adapun selain manusia, seperti hewan dan yang lainnya, maka-tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukai bila digadaikan oleh seorang muslim kepada orang kafir. Apabila seorang muslim (laki-laki atau wanita), kafir, merdeka atau budak sedang dalam status terlarang membelanjakan harta, maka masing- masing mereka tidak boleh melakukan transaksi gadai sebagaimana mereka tidak boleh melakukan transaksi jual-beli. Apabila orang yang tidak boleh melakukan gadai tetap bertransaksi, maka transaksi gadai tersebut dibatalkan.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu dan telah diterima oleh penerima gadai dan saat itu ia tidak terlarang membelanjakan harta, namun kemudian ia dilarang membefanjakan harta, maka gadai tetap sebagaimana adanya. Penerima gadai lebih berhak terhadap harta yang digadaikan itu hingga haknya dipenuhi.
Sekiranya seseorang menukar budaknya dengan budak, rumah dengan rumah, atau barang dengan barang, lalu salah satu dari keduanya menambah sejumlah dinar (maksudnya tukar tambah ) secara tidak tunai, lalu ia menggadaikan sejumah dinar yang diketahui jumlahnya, maka jual-beli dan gadai itu sah bila telah diserahterimakan.
Jika seseorang menerima gadai dari orang lain dengan tebusan kurma atau gandum dan telah jatuh tempo, lalu penggadai menjual harta yang digadaikan dengan kurma atau gandum kepada penerima gadai, maka jual- beli ditolak dan tidak sah, kecuali jika ia menjualnya dengan dinar atau dirham kemudian harganya ia gunakan untuk membeli gandum atau kurma, setelah itu gandum atau kurma ini ia gunakan untuk menunaikan hak si penerima gadai.