Menggadaikan harta yang belum dibagi

Imam Syafi’i berkata: Tidak mengapa seseorang menggadaikan separuh tanahnya, separuh rumahnya atau satu bagiannya dari harta milik bersama yang belum dibagi, selama semuanya dan apa yang digadaikannya itu diketahui dengan pasti. Tidak ada perbedaan antara hal itu dengan jual-beli. Sebagian manusia mengatakan bahwa gadai tidak sah kecuali dapat diserah-terimakan dan telah dibagi tanpa bercampur dengan yang lainnya. Mereka berhujjah dengan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, “Maka kendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) (Qs. Al Baqarah (2): 283)

Imam Syafi’ i berkata: Serah-terima merupakan lafazh yang bersifat umum, lafazh ini dapat digunakan pada makna yang berbeda-beda. Selama sesuatu, sukatan atau satu bagian dari sesuatu diketahui dan diserahkan hingga tidak ada penghalang diantara pihak yang bertransaksi, maka itulah yang dinamakan serah-terima. Serah-terima emas, perak dan kain dapat dilakukan di suatu ruang. Serah-terima tanah adalah dengan datang ke tempat tanah itu, lalu diserahkan tanpa harus memegang dengan tangan atau mengelilinginya dengan pagar. Serah-terima pada kebanyakan rumah dan tanah adalah dengan cara menguasainya. Budak diserahterimakan dengan dihadiri oleh penerima. Untuk harta milik bersama yang belum dibagi dari setiap tanah dan selainnya, hendaknya tidak ada penghalang diantara penerima dengan harta itu.

Semua ini adalah serah-terima yang berbeda-beda namun terkumpul dalam kata “serah-terima”. Meskipun terdapat perbedaan perbuatan dalarn hal itu, namun dapat dikumpulkan oleh suatu hal; yaitu bahwa hendaknya harta itu adalah sesuatu yang tertentu dan diketahui dengan pasti tanpa ada penghalang dengan penerima. Apabila demikian halnya, maka harta itu telah diserah terimakan (diambil alih). Apa-apa yang dinamakan sebagai “serah- terima” dalam jual-beli, maka dianggap Serah-terima pula dalam transaksi gadai, tidak ada perbedaan dalam hal itu.

Imam Syafi’i berkata: Apabila penggadai dan penerima gadai melakukan jual-beli dengan syarat adanya gadai, dan harta gadai tersebut ditempatkan pada penerima gadai, maka hal ini diperbolehkan. Apabila kita menempatkannya pada seorang yang adil, juga diperbolehkan. Tidak ada hak bagi salah seorang dari keduanya mengeluarkan harta gadai dari tempat dimana kita menempatkan harta gadai. tadi, kecuali bila mereka berdua sepakat untuk mengeluarkannya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila penggadai meninggal dunia, maka utang dianggap jatuh tempo dan harta gadai dapat dijual. Apabila harganya dapat melunasi utang, maka persoalan dianggap selesaL Sedangkan bila masih tersisa harganya setelah pembayaran utang, maka itu dapat dikembalikan kepada ahli waris mayit. Apabila harganya kurang dari jumlah utang, maka pemilik piutang (yakni penerima gadai) dapat menuntut sisa haknya pada harta peninggalan mayit dan ia memiliki kedudukan yang sama dengan para pemilik piutang yang lain sesuai dengan prosentase piutangnya yang tersisa.

Imam Syafi’i berkata: Apabila penggadai dan penerima gadai berbeda dalam hal gadai, misalnya penggadai mengatakan “Aku menggadaikan kepadamu budak senilai 1000 Dirham”, sementara penerima gadai mengatakan “Engkau menggadaikan kepadaku budak senilai 100 Dirham”, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan penerima gadai.

Imam Syafi’i berkata: Apabila penggadai mengatakan “Aku menggadaikan kepadamu harta senilai 1000 Dirham dan aku telah menyerahkannya kepadamu”, sementara penerima gadai mengatakan “Engkau belum menyerahkannya kepadaku”, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan penerima gadai, karena ia mengakui 1000 Dirham tersebut dan mengklaim terbebas dari menerimanya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila penggadai mengatakan “Aku menggadaikan kepadamu seorang budak seharga 1000 Dirham lalu engkau merusaknya”, sementara penggadai mengatakan “Budak itu meninggal dunia”, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan penerima gadai. Perkataan penggadai tidak dibenarkan atas tuntutan ganti ruginya.

Imam Syafi’i berkata: Diperbolehkan harta gadai terdiri dari dinar dan utang terdiri dari dinar pula, harta gadai berupa dirham dan utang berupa dirfiam pula, baik jumlahnya sama atau harta gadai lebih sedikit maupun lebih banyak dari utang. Ini bukanlah transaksi jual-beli.

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang meminjam seekor kuda untuk ia gadaikan, lalu ia menggadaikannya, maka gadai tersebut diperbolehkan apabila keduanya saling membenarkan hal itu atau ditemukan bukti tentang itu, sebagaimana diperbolehkan apabila digadaikan oleh pemilik budak sendiri. Apabila pemiliki budak ingin mengeluarkannya dari gadai, maka tidak ada hak baginya dalam hal itu kecuali si penggadai atau pemilik budak secara suka rela membayar seluruh utang.

Imam Syafi’i berkata: Apabila dua orang meminjam seorang budak, lalu keduanya menggadaikan budak yang dimaksud dengan tebusan 100 Dinar, kemudian salah satu dari kedua orang itu membayar 50 Dinar seraya mengatakan “Inilah yang menjadi tanggunganku dari utang”, maka setiap salah seorang dari keduanya tidak bertanggung jawab atas utang sahabatnya meskipun keduanya berkumpul dalam satu harta gadai. Oleh karena itu, seperdua dari budak tersebut telah terbebas dan seperduanya lagi berstatus gadai.

Imam Syafi’i berkata: Wali anakyatim atau pemegang wasiat harta anak yatim boleh menggadaikan atas nama si anak yatim, sebagaimana keduanya boleh menjual atas namanya dalam hal-hal yang mesti. Diperbolehkan pula bagi budak yang diizinkan melakukan perdagangan, budak mukatab, budak yang dimiliki bersama, dan orang yang diberi amanah untuk melakukan transaksi gadai.

Tidak mengapa seorang muslim menggadaikan kepada orang musyrik dan orang musyrik kepada orang muslim segala sesuatu selain mushaf dan budak-budak muslim, karena kami tidak menyukai bila orang muslim berada dalam kekuasaan orang musyrik oleh suatu sebab yang menyerupai perbudakan. Sementara gadai meski bukan perbudakan, akan tetapi para budak yang digadaikan sangat sulit terhindar dari penghinaan orang-orang yang menguasainya.

Imam Syafi’i berkata: Apabila budak muslim tetap digadaikan kepada orang kafir, maka kami tidak membatalkannya, akan tetapi kami tidak menyukainya karena alasan yang telah kami sebutkan.

Imam Syafi’i berkata: Harta orang murtad dibekukan. Apabila orang murtad menggadaikan sesuatu dari hartanya setelah dibekukan, maka ini tidak diperbolehkan dalam segala keadaan menurut sebagian sahabat lomi. Sementara menurut sebagian lagi, gadai tersebut tidak djperbolehkan kecuali bila ia kembali kepada Islam. Sebab, bila ia kembali kepada Islam, maka hartanya menjadi miliknya seperti semula sehingga transaksi gadai yang dilakukannya saat murtad dianggap sah. Apabila ia menggadaikannya sebelum hartanya dibekukan, maka gadai dianggap sah, sebagaimana sah bagi orang musyrik di negeri perang apa-apa yang dilakukannya terhadap hartanya sebelum diambil darinya.

Imam Syafi’i berkata: Pembebasan budak dan jual-beli berbedadengan gadai. Tidakkah engkau perhatikan bahwanya apabila seseorang menjual, maka iatelah mengalihkan diri budak, kebun atau hewan dan pemiliknya kepada pemilik yang barn? Demikian pula bila seseorang memerdekakan budak, maka ia telah mengeluarkan budak itu dari kepemilikannya kepada sesuatu yang ditetapkan oleh Allah, dan si budak telah memiliki hak penuh atas dirinya sendiri.

Adapun harta gadai tidak keluar dari hak pemiliknya selama-lamanya. Harta gadai tetap menjadi hak pemiliknya dalam segala keadaan, hanya saja haknya ini terhalang, karena harta digadaikan pada orang lain. Sebagaimana budak milik seseorang yang disewakan kepada orang lain, maka penyewa lebih berhak terhadap manfaat si budak hingga waktu yang telah dipersyaratkan kepadanya oleh pemilik budak, dan kepemilikan tetap ada pada majikan si budak.

Sama juga apabila seseorang menggadaikan budak wanita, maka wanita itu dapat dihalangi oleh darinya karena adanya hak orang lain padanya. Jika si budak wanita melahirkan anak-anak, maka anak-anak tersebut tidak masuk dalam transaksi sewa-menyewa, demikian pula anak- anak tidak masuk dalam gadai. Gadai menempati posisi yang sama dengan jaminan seseorang kepada orang lain, dan tidak masuk dalam jaminan kecuali orang yang memasukkan dirinya dalam jaminan itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *