Imam Syafi’i berkata: Asas yang menjadi dalil tentang bolehnya gadai dalam Kitab Allah Azza waJalla adalah firman-Nya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorangpenulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. A1 Baqarah (2): 283)
Imam Syafi’i berkata: Rasulullah SAW bersabda. “Transaksi gadai tidak menghilangkan harta gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Untuknya keuntungan dan baginya tanggungan kerugiannya.”
Imam Syafi’i berkata: Makna lafazh “ghumuhu” pada hadits itu adalah keselamatannya atau pertambahannya, sedangkan makna lafazh ‘ghurmuhu’ adalah bencana dan kekurangannya.
Imam Syafi’i berkata: Aku tidak mengetahui adanya perbedaan dari seorang pun di antara ahli ilmu bahwa harta gadai adalah milik penggadai, dan bila ia hendak mengeluarkan harta tersebut dari kekuasan penerima gadai, maka hal itu tidak dapat ia lakukan. Kemudian penggadai harus mengeluarkan biaya untuk harta yang digadaikan, dan harta itu ditempatkan pada penerima gadai. Jika harta yang digadaikan berupa budak, lalu budak itu meninggal dunia, maka penggadai harus menanggung biaya pemakamannya.
Imam Syafi’i berkata: Sesungguhnya gadai adalah jaminan, sama seperti orang yang memberi jaminan. Apabila seseorang memiliki hak ipiutang) pada orang lain sebanyak 1000 Dirham, lalu utang itu diberi jaminan oleh sejumlah orang, baik saattransaksi maupun sesudahnya, maka apabila pengutang tidak menunaikan kewajibannya, pemiliki piutang dapat mengambil haknya dari para pemberi jaminan seperti dipersyaratkan atas mereka, dan hal itu tidak membebaskan pengutang dari tanggung jawabnya hingga ia melunasi semua tanggungan (utangnya).
Apabila para pemberi jaminan meriinggal dunia atau tidak berada di tempat, hal itu tidak mengurangi hak pemilik piutang dan ia dapat menuntut haknya kembali kepada pengutang. Demikian pula halnya dengan gadai, hilangnya harta gadai atau berkurangnya harga gadai tidak menghilangkan hak penerima gadai, dan Sunnah menjelaskan bahwa penerima gadai tidak mengganti rugi atas kerusakan atau kebinasaan harta gadai.
Imam Syafi’i berkata: Sebagian orang berbeda pendapat dengan kami dalam masalah gadai, mereka mengatakan bahwa apabila seseorang menggadaikan sesuatu sebagai jaminan utangnya pada seseorang, maka berlaku padanya ganti rugi. Apabila harta gadai rusak, maka harus diperhatikan; jika harganya lebih sedikit daripada utang, maka penerima gadai dapat menuntut kekurangan kepada penggadai, dan penggadai tidak dapat menuntut apapun kepada penerima gadai.
Imam Syafi’i berkata: Seakan-akan tersirat dalam perkataan mereka bahwa seseorang yang menggadaikan kepada orang lain harta sebanyak 1000 Dirham sebagai jaminan atas utangnya sebanyak 100 Dirham, maka bila 1000 Dirham rusak atau hilang, berarti 100 Dirham dari harta gadai menjadi pengganti bagi utang yang 100 Dirham, sedangkan 900 Dirham hanya sebagai amanah yang ada pada penerima gadai. Atau, apabila seseorang menggadaikan kepada orang lain 100 Dinar sebagai jaminan utang sebanyak 100 Dinar, dan apabila 100 Dinar yang digadaikan rusak, maka utang dianggap telah lunas, sebab 100 Dinar yang digadaikan itu menjadi tebusan bagi 100 Dinar utang. Atau, seseorang yang menggadaikan 50 Dirham sebagai jaminan utang sebanyak 100 Dirham, apabila harta gadai yang berjumlah 50 Dirham itu rusak, maka terhapus pula 50 Dirham dari utang, kemudian pemilik piutang menuntut haknya yang tersisa kepada penggadai sebanyak 50 Dirham.
Imam Syafi’i berkata: Demikian pula dalam perkataan mereka tentang barang, sama seperti yang telah kami gambarkan.
Imam Syafi’i berkata: Dikatakan kepada sebagian orang yang berpendapat seperti ini, sesungguhnya pandangan ini tidak logis menurut para ahli ilmu. Apabila ia berkata, “Apakah dari segi logika atau wahyu?” Maka dapat dikatakan, “Dari segi logika, sebab terkadang kamu menjadikan harta gadai harus diganti rugi seluruhnya, terkadang sebagiannya, terkadang sebagiannya dengan apa yang ada padanya, dan terkadang penggadai kembali menuntut kelebihan sisa hartanya setelah dipotong untuk pembayaran utang. Harta gadai menurut pendapat kalian tidak diganti rugi dengan utang yang karenanya harta gadai itu diberikan, karena sesuatu itu diganti kerugiannya dengan jenis harta itu sendiri. Apabila tidak didapatkan, maka diganti dengan harganya dan tidak diganti rugi dengan utang yang karenanya harta itu digadaikan. Lalu, dari sisi manakah landasan pendapat kalian?
Sesungguhnya perkara seperti ini tidak dapat diterima kecuali berdasarkan riwayat yang mengikat manusia untuk mengamalkannya, dan tidak ada pilihan bagi mereka kecuali pasrah kepadanya.
Jika mereka mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA bahwa ia berkata, “Hendaklah keduanya saling mengembalikan kelebihan”, kami katakan bahwa ketika beliau mengatakan “saling mengembalikan kelebihan”, maka ia berarti telah menyelisihi perkataan kalian, dimana menurutnya tidak ada sesuatupun dari gadai yang berstatus sebagai amanah. Perkataan Ali menunjukkan bahwa gadai diganti rugi seluruhnya, baik ada kelebihan padanya atau tidak, sama seperti sesuatu yang diganti rugi. Jika harta sejenis tidak didapat, maka diganti dengan harganya.
Imam Syafi’i berkata: Maka kami katakan bahwa kalian telah meriwayatkan hal itu dari Ali karramalla.hu Ta ’ala wajhahu, sementara ini adalah hadits yang shahih menurut pendapat kami sebagaimana dinukil oleh para sahabat kami. Sungguh kalian telah menyelisihinya.
Mereka berkata, “Dari sisi mana?” Kami katakan, kalian mengatakan bahwa Ali RA berkata “Keduanya saling mengembalikan kelebihan”, sementara kalian mengatakan bahwa apabila gadai bemilai 1000 Dirham dan utang sebanyak 100 Dirham, maka 100 Dirham dari gadai (yang berjumlah 1000 Dirham) ditebus dengan 100 Dirham utang, sementara 900 Dirham hanya sebagai amanah pada penerima gadai. Padahal, apa yang diriwayatkan dari Ali menyatakan bahwa penggadai dapat menuntut kepada penerima gadai 900 Dirham tersebut.
Mereka bekata, “Kami telah meriwayatkan dari Syuraih bahwa ia berkata, ‘Harta gadai ditebus dengan utang meskipun cincin yang terbuat .dari besi’.” Kami katakan, kalian menyelisihinya pula. Mereka berkata, “Dari sisi mana?” Kami katakan, kalian mengatakan bahwa apabila harta gadai senilai 100 Dirham dan utang sebanyak 1000 Dirham, atau harta gadai berupa cincin senilai 1 Dirham dan utang sebanyak sepuluh dirham, lalu harta gadai rusak atau hilang, maka pemilik piutang (yaitu penerima gadai) dapat menuntut penggadai untuk membayar sisa utangnya sebanyak 900 Dirham pada kasus pertama, dan sebanyak 9 Dirham pada kasus kedua.
Sementara Syuraih tidak memperbolehkan pemilik piutang (pada kedua kasus di atas) untuk menuntut sisa utangnya kepada penggadai. Mereka berkata, “Telah diriwayatkan oleh Mush’ab bin Tsabit dari Atha’ bahwa seorang laki-laki menggadaikan kuda lalu kuda itu binasa, maka Nabi SAW bersabda, Hakmu telah hilang’.”
Imam Syafi’i berkata: Dikatakan kepadanya, telah dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim dari Mush’ab bin Tsabit bahwa Atha’ berkata, “Al Hasan mengatakan begini”. Kemudian ia menukil perkataap yang dimaksud. Ibrahim berkata, “Adapun Atha‘ merasa takjub atas apa yang diriwayatkan oleh Al Hasan.”
Imam Syafi’i berkata: Di antara perkara yang menunjukkan kelemahan penisbatan riwayat ini dari Atha‘ adalah riwayat yang menyatakan bahwa Atha’ memberikan fatwa yang berbeda dengan riwayat di atas. Pendapatnya dalam masalah ini berbeda dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Bahkan, ia mengatakan bahwa apa yang telah tampak kebinasaannya, maka ia sebagai amanah; sedangkan apa yang tidak tampak kebinasaannya, maka keduanya (penggadai dan penerima gadai) dapat saling mengembalikan kelebihan. Inilah riwayat yang lebih akurat darinya.
Telah diriwayatkan pula darinya bahwa penggadai dan penerima gadai saling mengembalikan kelebihan secara mutlak. Kami tidak ragu bahwa Atha’ insya Allah Ta ’ala- tidak meriwayatkan dari nabi SAW sesuatu yang akurat menurut pandangannya, lalu mengatakan pendapat yang menyelisihinya, di samping aku tidak mengetahui seorang pun yang menukil riwayat di atas dari Atha‘.
Imam Syafi’i berkata: Hal ini sangat lemah apabila penggadai dan penerima gadai saling mengembalikan kelebihan. Sebab apabila kedudukannya sama seperti jual-beli, maka harta gadai ditebus dengan utang sesuai prosentase masing-masing. Sebab, apakah makna harga gadai diganti rugi sementara ia bukan harta yang dirampas oleh penerima gadai dan tidak pula didapatkannya atas dasar permusuhan, sementara penggadai memperbolehkan kepada penerima gadai untuk menahan hartanya?
Imam Syafi’i berkata: Sisi pandangan mereka yang mengatakan bahwa gadai ditebus dengan utang, sesungguhnya hendak mengatakan bahwa penggadai dan penerima gadai telah ridha bahwa utang terkait dengan gadai. Apabila harta gadai binasa maka terhapus pula apa yang karenanya harta itu digadaikan (yakni utang), sebab harta gadai sama seperti pengganti dari tanggungan (utang). Tapi, pandangan ini sangat lemah. Adapun jika keduanya tidak saling meridhai, maka jelaslah bahwa harta gadai itu adalah milik penggadai, dan hal ini terus berlangsung hinggaakhimyaberpindahtangan kepada penerima gadai. Sekiranya penggadai telah memberikan hak kepemilikan kepada penerima gadai sejak awal, maka penerima gadai tidak dapat menuntut haknya kepada penggadai.