Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang (di luar peiaku transaksi gadai) melakukan kejahatan terhadap budak yang digadaikan, dan peiaku kejahatan ini tidak berlaku padanya hukum qishash; seperti pelaku adalah orang yang merdeka sehingga tidak diberlakukan atasnya qishash karena kejahatannya terhadap budak, atau pelaku adalah bapak, ibu, kakak atau nenek dari si budak yang menjadi korban, atau pelaku belum baligh atau lemah akalnya, atau jenis kejahatan tidak berlaku qishash padanya, seperti luka pada kepala atau kejahatan tidak disengaja, maka pemilik budak yang digadaikan menjadi penanggung jawab dalam kejahatan ini. Jika penerima gadai menyukai, ia dapat menghadiri proses peradilan.
Apabila diputuskan atas pelaku kejahatan membayar denda kejahatannya terhadap budak yang digadaikan, maka tidak ada hak bagi majikan budak (penggadai) untuk memaafkannya, dan tidak boleh pula mengambil denda kejahatan tanpa menyertakan penerima gadai. Penggadai diberi pilihan antara menjadikan denda kejahatan sebagai bayaran atas utang yang menjadi tanggungan si budak, atau disimpan untuk penerima gadai di tangan orang yang harta gadai ada padanya hingga utang jatuh tempo.
Imam Syafi’i berkata: Kejahatan terhadap budak wanita yang digadaikan sama seperti kejahatan terhadap budak laki-laki yang digadai. Tidak ada perbedaan apapun kecuali pada kejahatan yang khusus dialami oleh wanita. Seperti perutnya dipukul sehingga janinnya gugur, maka dapat diambil denda kejahatan atas janin, dan denda ini untuk pemilik si budak wanita dan tidak termasuk gadai bersama ibunya.
Jika kejahatan mengakibatkan kekurangan pada diri si budak, dan kekurangan ini memiliki nilai namun tidak menimbulkan luka yang meninggalkan bekas, maka tidak ada sanksi apapun atas pelaku kejahatan selain denda janin, karena denda janin merupakan perkara yang telah ditetapkan atasnya.
Apabila penggadai melakukan kejahatan terhadap budaknya yang tergadai, maka kejahatannya sama seperti kejahatan orang lain. Gadai tidak dibatalkan hanya karena ia adalah pemilik harta gadai itu, sebab pada harta itu terdapat hak orang lain yang tidak boleh ditinggalkan. Penggadai dituntut membayar denda kejahatan atas budaknya (baik yang laki-laki maupun perempuan), sebagaimana halnya bila yang melakukan kejahatan adalah orang lain. Jika mau ia dapat menjadikan bayaran denda itu sebagai penebus haknya (piutangnya), maka utang penerima gadai dihapus sesuai besamya bayaran denda kejahatan.
Sekiranya seseorang menggadaikan budak miliknya kepada seseorang, lalu ia menggadaikan budaknya yang lain kepada orang lain lagi, kemudian salah satu dari keduanya melakukan kejahatan kepada yang satunya, maka kejahatan ini sama seperti kejahatan budak yang tidak berstatus gadai. Si majikan diberi pilihan antara menebus budak pelaku kejahatan secara tunai untuk korban kejahatan. Apabila ia melakukannya, maka budak yang digadaikan itu tetap berstatus gadai sebagaimana sebelumnya. Jika si majikan tidak melakukannya, maka si budak pelaku kejahatan dapat dijual lalu diberikan kepada korban apa yang menjadi haknya. Jika tersisa sesuatu dari harganya, maka menjadi gadai pada penerima gadai.
Apabila harga budak yang melakukan kejahatan melebihi besar denda kejahatannya, lalu penggadai dan penerima gadai menjual budak pelaku kejahatan tersebut, maka si budak dapat dijual dan sisa harganya dikembalikan sebagai gadai, kecuali bila si majikan dengan suka rela menjadikannya sebagai pembayar utang.
Apabila salah seorang dari kedua pihak yang melakukan transaksi gadai meminta untuk menjual budak pelaku kejahatan secara keseluruhan, sedangkan pihak yang satunya tidak mau, maka tidak ada paksaan bagi yang tidak mau untuk menjual budak tersebut secara keseluruhan selama harga sebagian diri budak itu telah cukup untuk membayar denda kejahatannya.