Izin untuk Menunaikan Tanggungan dari Penggadai

Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang membayar utang yang telah jatuh tempo atau yang belum dengan izin pengutang, maka orang yang diberi izin dapat menuntut ganti rugi kepada penggadai saat itu juga. Akan tetap jika ia membayar utang tersebut tanpa izin pengutang, baik utang telah jatuh tempo atau belum, maka ia dianggap telah melakukan pembayaran dengan suka rela, sehingga tidak ada hak baginya untuk menuntut ganti rugi kepada pengutang.

Apabila terjadi perbedaan, dimana penggadai (pengutang) mengatakan “Engkau membayar utangku tanpa perintah dariku”, sementara orang yang diberi izin menggadai mengatakan “Aku membayar utangmu atas perintah darimu”, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan penggadai yang dibayar utangnya, karena ia adalah orang yang bertanggung jawab atas utang itu, dan karena orang yang membayar utang bermaksud membebani pengutang dengan apa yang tidak menjadi beban baginya kecuali atas dasar pengakuannya, atau berdasarkan bukti yang menetapkan hal itu.

Apabila penerima gadai yang telah dibayar piutangnya bersaksi terhadap penggadai (pengutang) bahwa majikan si budak (yang memberi izin menggadaikan budaknya) telah membayar utang si penggadai atas izin dari penggadai sendiri, maka kesaksiannya dapat diterima dan ia disuruh bersumpah untuk mengukuhkan kesaksiannya selama semua piutangnya telah dilunasi, sebab dalam hal ini tidak ada manfaat yang hendak diambil oleh penerima gadai untuk dirinya atau mudharat yang hendak dihindarinya sehingga mendorongnya membuat kesaksian.

Demikian pula apabila masih ada piutang yang tersisa, lalu pemilik piutang (penerima gadai) bersaksi bahwa pemilik budak membayar utang dengan izin penggadai (pengutang), maka kesaksiannya diterima.

Apabila pemilik budak mengizinkan seseorang menggadaikan budaknya yang bernama Salim dengan tebusan seratus tunai, lalu orang yang mendapat izin menggadaikan dengan tebusan seperti itu, sementara pemilik budak mengatakan “Aku memerintahkanmu untuk menggadaikannya kepada fulan, tapi engkau malah menggadaikan kepada orang lain”, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan pemilik budak dan gadai dapat dibatalkan, sebab mungkin seseorang memberi izin bila hartanya digadaikan kepada orang yang dipercaya karena keluwesannya dalam menagih utang, dan tidak memberi izin digadaikan kepada yang lainnya.

Apabila seseorang memberi izin kepada orang lain untuk menggadaikan budaknya si fulan, dan ia memberi izin kepada orang lain untuk menggadaikan budak tersebut, lalu masing-masing dari kedua pemegang izin menggadaikan secara terpisah dan diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu menggadaikan, maka transaksi gadai pertama sah sedangkan yang terakhir dapat dibatalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *