Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyerahkan harta tertentu kepada orang lain seraya berkata kepadanya “Gadaikanlah ia kepada si fulan”, lalu orang itu menggadaikannya kepada orang yang dimaksud, kemudian orang yang menyerahkan harta tersebut mengatakan “Sesungguhnya aku memerintahkannya untuk menggadaikannya kepadamu dengan tebusan 10 Dinar”, sementara penerima gadai mengatakan “Orang yang engkau beri izin itu datang kepadaku membawa suratmu bahwa engkau meminjam kepadaku sebesar 20 Dirham, maka aku pun memberikan jumlah tersebut kepadanya”, namun utusan mendustakan perkataanya, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan utusan dan pengutus, dan aku tidak melihat kepada harga barang gadai.
Sekiranya utusan membenarkan dan berkata, “Aku telah mengambil darimu 20 Dinar dan menyerahkan kepada orang yang mengutusku”, namun orang yang mengutus mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan orang yang mengutus disertai sumpahnya bahwa ia tidak memerintahkan kecuali sebesar 10 Dinar dan tidak ada yang diserahkan oleh utusan kepadanya selain 10 Dinar tersebut. Pada kasus ini harta tergadai dengan 10 Dinar, sedangkan orang yang diutus harus membayar kepada penerima gadai sebesar 10 Dinar, karena ia mengaku telah mengambil dari penerima gadai sebanyak 20 Dinar.
Apabila seseorang menyerahkan selembar pakaian kepada utusannya, lalu utusan itu menggadaikan pakaian tadi kepada seseorang, setelah itu orang yang diutus berkata kepada orang yang mengutus “Engkau memerintahkanku menggadaikan pakaian kepada fulan dengan tebusan 10 Dinar, lalu aku telah menggadaikannya”, sementara orang yang mengutus mengatakan “Aku memerintahkanmu mengutang dari si fulan sebesar 10 Dinar tanpa gadai, dan aku tidak mengizinkanmu menggadaikan pakaian”, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pemilik pakaian dan uang sebesar 10 Dinar itu harus ia bayar segera.