Imam Syafi’i berkata: Apabila yang menjadi imam adalah seorang ummi (buta huruf Al Qur’an) atau orang yang tidak baik bacaannya, meski ia pandai membaca ayat yang lain narnun tidak pandai membaca Ummul Qur’an, maka bermakmumnya orang yang pandai membaca Al Qur’an dianggap tidak memadai (tidak sah). Apabila orang yang tidak pandai membaca Al Qur’an menjadi imam, maka hal itu memadai (sah) bagi orang yang bermakmum kepadanya selama mereka tidak pandai pula membaca Al Qur’an.
Apabila imam itu tidak pandai membaca Ummul Qur’an narnun pandai membaca tujuh atau delapan ayat dari Al Qur’an, dan makmum yang ada di belakangnya juga tidak pandai membaca Ummul Qur’an namun pandai membaca surah yang lebih banyak dari imam, maka shalat mereka memadai bersama imam itu, karena masing-masing tidak pandai membaca Ummul Qur’an.
Apabila makmum diimami oleh seseorang yang tidak mengetahui apakah ia pandai membaca Al Qur’an atau tidak dalam shalatnya, dan ia tidak menjahrkan suaranya, maka saya lebih menyukai agar mereka mengulangi shalatnya sebagai tindakan berhati-hati dalam menjaga shalat. Namun hal itu tidak wajib atas mereka, karena biasanya seseorang dari kaum muslimin tidak akan tampil ke depan untuk menjadi imam bagi suatu kaum kecuali orang yang baik bacaannya sehingga shalatnya dapat diterima, insya Allah.
Apabila mereka dipimpin oleh seorang imam yang mengharuskan men-jahr-kan (mengeraskan) suaranya (dalam membaca surah), lalu ia tidak mengeraskan bacaannya, maka mereka (makmum) harus mengulangi shalatnya, karena orang itu telah meninggalkan membaca Al Qur’an. Apabila dikatakan bahwa ia telah membaca dalam hati mereka tidak diketahui bacaannya maka saya menyukai apabila mereka mengulangi shalat, karena mereka tidak yakin bahwa orang itu pandai membaca, dan ia tidak menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.