Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang yang berihram untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah tidak melewati miqat, kemudian ia kembali ke miqat untuk mengulang ihramnya, maka ketika kembali ia tetap dalam keadaan ihram. Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin Anda menyuruhnya kembali ke miqat, padahal Anda 6 HR, Muslim, pembahasan tentang haji, bab “Miqat-miqat Haji dan Umrah”, hadits no. 12. HR. Bukhari, pembahasan tentang haji, bab “Ihramnya Penduduk Yaman”.mengharuskannya memakai ihram dimana ihram tersebut dimulai bukan dari miqat? Apakah Anda mendasarkan pendapat tersebut berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas atau dari sahabat lain atau berdasarkan qiyas?” Jawabannya, “Apabila pendapat tersebut berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas, maka itu berarti mengikuti Sunnah.” Jika dia berkata, “Sebutkanlah Sunnah yang mendukung pendapat Anda itu!” Jawabannya, “Tidakkah Anda lihat bahwa ketika Rasulullah SAW menyuruh orang yang akan melaksanakan haji atau umrah agar melewati miqat yang telah ditentukan, bukankah beliau menghendaki agar orang tersebut harus terus dalam keadaan ihram dari tempat miqat sampai dia thawaf di Ka’bah, barulah dia boleh ber-tahallul’ Dia akan menjawab: “Ya, betul.” Saya katakan lagi, “Menurut Anda, bolehkah orang tersebut dalam keadaan bukan ihram sebelum dia sampai ke tempat miqat?” Dia menjawab, “Ya, boleh.” Saya katakan lagi kepadanya, “Menurut pendapat Anda, bolehkah dia menjadikan sebagian safarnya itu halal (tidak ihram) dan sebagian safarnya lagi ihram?” Dia akan menjawab, “Ya, boleh.” Aku katakan lagi kepadanya, “Lalu bagaimana pendapat Anda dengan seseorang yang melewati miqat kemudian berihram, atau belum berihram kemudian kembali ke miqat untuk berihram dari tempat tersebut? Bukankah dia telah melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepadanya bahwa dia harus berihram dari miqat sampai dia thawaf di Ka’bah, kemudian diaber-tahallul lalu melaksanakan amalan yang lain?” Dia menjawab, “Ya, apabila dia berihram setelah melewati miqat, maka ihramnya di’anggap sah dan dia tidak perlu mengulangi ihramnya dari miqat.”
Imam Syafi’i berkata: Umar bin Dinar meriwayatkan dari Thawus, ia berkata, “Barangsiapa menghendaki untuk berihram dari rumahnya, ia boleh melakukannya (sebelum sampai miqat). Barangsiapa menghendaki memakai pakaian biasa dari rumah, kemudian dia mengganti pakaiannya dengan pakaian ihram ketika sudah sampai di miqat, ia pun boleh melakukannya. Akan tetapi, ia tidak boleh melewati miqat tersebut kecuali dalam keadaan ihram.” Dari Atha’, ia berkata, “Miqat-miqat di dalam haji dan umrah adalah sama. Barangsiapa menghendaki berihram di belakang miqat (sebelum sampai miqat), ia boleh melakukannya. Barangsiapa menghendaki berihram ketika sudah sampai miqat, ia pun boleh melakukannya.Akan tetapi, iatidak boleh melewati miqat tersebut kecuali dalam keadaan ihram.” Demikianlah pendapat yang kami yakini. Dari Juraij, Atha‘ berkata, “Barangsiapa memasuki ihram haji setelah melewati miqat dengan sengaja atau tidak, maka ia harus kembali lagi ke tempat miqat. Lalu mengulangi ihramnya dari tempat tersebut, kecuali apabila ia terhalang oleh sesuatu yangtidak bisa dihindari atau dikhawatirkan akan tertinggal dalam hajinya. Setelah itu, ia harus membayar dam (denda) berupa seekor kambing.”
Imam Syafi’i berkata: Seperti itulah pendapat kami, yaitu apabila seseorang berihram setelah melewati miqat, maka menurut kami ia harus kembali ke miqat tersebut (untuk mengulangi ihramnya) selama belum melaksanakan thawaf. Apabila ia sudah melaksanakan thawaf, maka menurut pendapat kamiia tidak usah kembali ke tempat miqat, tapi cukup baginya membayar dam. Apabila ia tidak bisa kembali ke miqat karena ada halangan atau karena meninggalkannya dengan sengaja, maka menurut kami tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali harus kembali ke miqat dan membayar dam. Ia telah berbuat salah ketika meninggalkan kewajiban miqat-nya dengan sengaja, maka ia harus kembali ke miqat tersebut apabila memungkinkan.
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa menempuh jalan laut atau jalan darat yang tidak melewati miqat yang telah ditentukan, maka ia boleh berihram haji di tempat yang sejajar dengan miqat-miqat yang telah ada. Tapi dalam hal ini menurut pendapat saya lebih baik ia berhati hati dengan cara berihram sebelum sampai tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut. Apabila ia mengetahui bahwa ternyata ia telah melewati miqat tanpa memakai pakaian ihram, maka dalam hal ini ia harus kembali ke tempat miqat tersebut atau membayar dam.
Imam Syafi’i berkata: Atha’ berkata, “Barangsiapa datang dari arah yang tidak melewati miqat yang sudah ditentukan, maka ia harus berihram di tempat yang sejajar dengan miqat tersebut. Terdapat hadits dari Thawus yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang menerangkan tentang batas-batas miqat, yaitu hadits yang sangat jelas maknanya sertatidak membutuhkan takwil lagi, dimana Rasulullah SAW bersabda, “… tempat-tempat tersebut adalah uniuk penduduk negeri yang bersanghutan dan untuk orang-orang yang datang melewati tempat tersebut, walaupun ia bukan penduduk negeri tersebut, bagi orang yang akan berangkat haji atau umrah. ” Kami jelaskan di sini bahwa penduduk Irak atau penduduk Syam apabila memasuki Makkah untuk menuaikan ibadah haji atau umrah dengan melewati Madinah, maka miqat-nya adalah Dzulhulaifah (sama dengan penduduk Madinah). Begitu juga penduduk Madinah apabila dia masuk Makkah melewati Yaman, maka miqat-nya adalah Yalamlam. Sabda beliau yang menyatakan bahwa penduduk Madinah berihram dari Dzulhulaifah adalah karena Dzulkhulaifah merupakan tempat yang pasti dilalui oleh orang yang akan masuk Makkah dari arah Madinah, dan Dzulhulaifah merupakan awal miqat dari penduduk Madinah yang melewati tempat tersebut. Sabda Nabi SAW yang mengatakan bahwa “penduduk. Syam berihram dari Ju’fah’’ maksudnya adalah bahwa Ju’fah merupakan tempat yang pasti dilalui oleh orang yang akan masuk ke Makkah dari arah Syam, dan Ju’fah merupakan awal miqat bagi orang yang datang dari Syam yang melewati tempat tersebut. Ketika penduduk Syam pergi ke Makkah, mereka tidak mungkin melewati Madinah atau Dzulhulaifah, kecuali apabila mereka belok ke arah Madinah. Begitu juga sabda beliau tentang penduduk Najd dan Yaman, merekapasti melewati miqat yang telah disebutkan oleh Nabi SAW ketika mereka hendak menuju Makkah. Dengan demikian, maka penduduk Najd dan Yaman miqat-nya adalah Qam apabila mereka merasa berat untuk melewati Yalamlam, karena miqat Yalamlam hanya untuk penduduk Yaman pedalaman dan orang-orang yang melewati tempat tersebut.