Masuk Makkah Tanpa Berniat untuk Haji atau Umrah

Imam Syafi’i berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku dan yang sujud’. ” (Qs. Al Baqarah(2): 125)

Imam Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan Al Masaabah menumt bahasa Arab adalah suatu tempat dimana manusia biasa berkumpul di situ, kemudian mereka kembali ketempat masing-masing lagii kembali berkumpul lagi ditempat tersebut. Allah berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok ”(Qs.Al ‘Ankabut (29): 67) Maksud ayat ini adalah Allah menjadikan penduduk Tanah Haram tersebut aman, tidak seperti penduduk negeri-negeri lain yang saling merampas satu sama lain. Allah juga berfirman kepada Ibrahim khalil-Nya (kekasih), “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. ” (Qs. Al Hajj (22): 27)

Imam Syafi’i berkata: Saya mendengar sebagian ahli ilmu yang saya percayai, mereka menyebutkan bahwa ketika Allah Tabaraka wa Ta ’ala menyuruh Nabi Ibrahim AS untuk menyeru manusia supaya melaksanakan ibadah haji (sebagaimana yang terdapat dalam surah Al Hajj (22): 27 di atas), maka Ibrahim berdiri di suatu tempat lalu berteriak:  “Wahai hamba-hamba Allah, penuhilah seruan orang yang menyeru kepada Allah. ” Maka, seluruh manusia menyambut seruan ini, sampai seorang anak yang masih ada di tulang sulbi bapaknya atau yang masih ada di rahim ibunya. Barangsiapa berhaji ke Baitullah, berarti dia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ini dan telah memenuhi panggilannya. Mereka mengatakan: “Kami datang memenuhi panggilan orang yang menyeru kepada Tuhan kami.” Azza wa Jalla berfirman, “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. ” (Qs. Aali ‘Imraan (3): 97) Inilah dalil-dalil dari kitab Allah (Al Qur’an) yang menyuruh kepada kita dan umat-umat lain bahwa seluruh manusia disunahkan untuk datang ke Baitullah (Makkah) dengan berihram. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i‘tikaf yang ruku dan yang sujud’. ”(Qs. Al Baqarah(2): 125) Allah berfirman ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim, “… maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. ” (Qs. Ibraahim (14): 37)

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan bahwa para nabi dahulu juga melaksanakan ibadah haji. Ketika mereka memasuki Tanah Haram (Makkah), mereka berjalan dengan penuh rasa hormat terhadap Tanah Haram dan mereka melepaskan alas kaki. Diriwayatkan kepada kami bahwa para nabi dan umat-umat terdahulu ketika memasuki Baitul Haram (Makkah) selalu dalam keadaan ihram. Setahu kami, Rasulullah’ SAW memasuki Makkah ketika peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) dalam keadaan ihram. Begitulah pendapat kami bahwa termasuk Sunnatullah (ketentuan dari Allah) terhadap para hamba-Nya bahwa mereka tidak boleh memasuki Tanah Haram kecuali dalam keadaan ihram. Begitu pula yang kami dengar dari ulama-ulama kami yang mengatakan bahwa barangsiapa bernadzar untuk memasuki Makkah, maka dia harus datang dalam keadaan ihram, baik ihram haji atau ihram umrah. Menurut saya mereka mengatakan seperti yang saya katakan, dan Allah pun menyebutkan keadaan orang yang masuk Tanah Haram dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya (Qs. Al Fath (48): 27) Bahkan penduduk Makkah yang pulang ke rumah keluarganya di Makkah sehabis melakukan safar, ia tidak boleh memasuki Makkah kecuali dalam keadaan ihram. Adapun petugas yang keluar masuk kota Makkah untuk mengantar surat (pegawai pos) atau diamasuk ke Makkah untuk mengunjungi keluarganya, maka kewajiban ihram gugur karena hal itu terlalu menyulitkan dirinya. Tapi apabila dia minta izin kepada atasannya kemudian dia memasuki Makkah dengan berihram, maka menurut saya hal itu lebih baik. Barangsiapa masuk Makkah karena takut dari peperangan (mengungsi), maka dia boleh masuk tanpa ihram. Jika ada yang bertanya, “Berdasarkan dalil apa Anda mengatakan hal itu?” Maka jawabnya: Berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Jika dia bertanya lagi, “Dimana dalil tersebut?” Maka jawabnya: Yaitu firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 196, “Jika kalian terhalang, maka kalian boleh menyembelih hewan kurban (sebagai ganti) yang mudah kalian dapatkan. ’’ Dalam ayat ini Allah membolehkan orang yang sedang berihram haji atau umrah untuk keluar dari ihram karena takut akan perang. Maka, orang yang ketakutan karena perang dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah, maka dia lebih patut untuk diperbolehkan untuk keluar dari ihram (bebas ihram). Begitu juga Rasulullah SAW ketika memasuki Makkah pada fathu Makkah, beliau tidak dalam keadaan berihram karena beliau sedang menghadapi peperangan. Apabila ada yang bertanya, “Apabila ada orang yang memasuki Makkah tanpa ihram karena dia takut terhadap musuh atau peperangan, apakah dia harus mengqadha ihramnya?” Maka jawabnya adalah: Tidak, kecuali apabila ihram tersebut merapakan ihram wajib, seperti ihram haji yang merapakan rukun Islam atau ihram nadzar. Apabila seseorang meninggalkan ihram seperti ini, maka dia harus mengqadha. Apabila dia belum mengqadha dan sudah meninggal, maka dapat diwakilkan kepada orang lain. Begitu juga apabila dia belum mengqadhanya kemudian dia terkena musibah sehingga tidak bisa menempuh perjalanan di atas kendaraan, maka harus diwakilkan oleh orang lain. Orang yang masuk Makkah dalam keadaan takut terhadap penguasa atau terhadap sesuatu yang tidak mampu dia hindari, maka menurut pendapat saya ia boleh memasuki kota Makkah tanpa ihram apabila tidak sanggup untuk melakukan thawaf dan sa’i karena ketakutan tersebut. Tapi jika dia mampu melakukan thawaf dan sa’i, maka ia harus masuk Makkah dalam keadaan ihram. Wallahu a ‘lam. Sebagian penduduk Madinah berpendapat bahwa boleh masuk Makkah tanpa ihram. Mereka berhujjah (berdalil) bahwa Ibnu Umar pernah masuk Makkah tanpa ihram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *