Saya bertanya kepada Syafi’i tentang musuh, budak yang lari kepada mereka atau unta yang tersesat dan sampai kepada mereka, atau jika mereka menyerang, lalu mereka mendapatkan budak dan unta tersebut, atau pada keduanya mereka mempunyai beberapa bagian.
Maka Imam Syafi’i menjawab, “Tidak boleh.” Saya katakan kepada Imam Syafi’i, “Apa pendapat Anda mengenai keduanya, apabila kaum muslimin menang terhadap musuh tersebut, lalu datang orang yang mempunyai budak dan unta itu sebelum keduanya dibagikan?”
Imam Syafi’i menjawab, “Keduanya itu untuk pemiliknya.” Saya bertanya, “Apa pendapat Anda apabila budak dan unta itu sudah masuk dalam pembagian?”
Imam Syafi’i menjawab, “Para mufti berbeda pendapat mengenai keduanya; sebagian ada yang mengatakan bahwa keduanya, baik sebelum atau sesudah dibagikan adalah sama, yaitu untuk pemiliknya. Sebagian mengatakan bahwa keduanya itu bagi pemiliknya sebelum dibagikan. Apabila telah terjadi pembagian dan keduanya telah menjadi bagian seseorang, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan budak dan unta itu. Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa pemilik budak dan unta lebih berhak, selama belum dibagikan.
Apabila telah dibagikan, maka pemiliknya lebih berhak dengan nilai harganya.” Saya bertanya kepada Imam Syafi’i, “Manakah yangAnda pilih dari pendapatini?”
Imam Syafi’i menjawab, “Saya memohon kebaikan kepada Allah mengenai hal tersebut.” Saya bertanya, “Mana di antara dua pendapatitu yang bersama atsar dan qiyas?”
Imam Syafi’i menjawab, “Petunjuk Sunnah dan Allah Maha Tahu bahwa harta itu tidak dapat dimiliki, baik sebelum dan sesudah dibagikan.” Saya bertanya kepada Imam Syafi’i, “Sebutkanlah Sunnah itu?”
Imam Syafi’i menjawab, “Dikabarkan kepada kami oleh Ats-Tsaqafi dari Ayyub, dari Abu Qallabah, dari Imran bin Hushain yang mengatakan, ‘Seorang wanita Anshar telah ditawan, dan unta telah diambil sebelum wanita itu.’”
Imam Syafi’i berkata: Seakan-akan ia menghendaki unta Nabi, karena makna hadits menunjukkan seperti itu.
Imam Syafi’i berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa musuh itu sudah memelihara unta betina Rasulullah, dan bahwa wanita Anshar itu terlepas dari tawanan mereka sesudah mereka memeliharanya. Ia berpendapat bahwa unta itu miliknya (wanita itu). Maka, Rasulullah menerangkan bahwa wanita itu telah bemadzar pada apa yang tidak dimilikinya, dan ia tidaklah dianggap bernadzar.
Rasulullah kemudian mengambil untanya itu. Jika kaum musyrikin itu memiliki sesuatu atas kaum muslimin, tidaklah wanita Anshar itu mengambil unta dan mengaku telah memilikinya, karena ia sudah mengambilnya. Tidak ada seperlima bagian untuk unta itu, karena wanita itu tidak menyerbu unta itu. Orang lain telah mengatakan apa yang kita katakan, dan kita tidak mengatakan bahwa wanita itu memiliki empat perlima bagiannya dan seperlimanya adalah bagi yang berhak mendapatnya, atau unta itu termasuk harta fai yang diperoleh tidak dengan cara diperangi dengan pasukan berkuda dan unta. Maka, empat perlimanya untuk Nabi dan seperlimanya untuk yang berhak seperlima. Saya tidak menghafal satu pendapat pun dari seseorang yang mengira demikian selain daritiga pendapat ketika Rasulullah mengambil untanya, ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin tidak memiliki sesuatu pun dari kaum muslimin.
Imam Syafi’i berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda.
“Barangsiapa masuk Islam karena sesuatu, maka ia adalah miliknya. ” Kami meriwayatkan dari beliau bahwa Mughirah masuk Islam dengan harta suatu kaum yang telah dibunuhnya dan harta itu disembunyikannva, maka harta itu menjadi miliknya.
Imam Syafi’i berkata: Apakah Anda berpendapat bahwa apa yang Anda riwayatkan berupa hadits dari Nabi itu benar? Yaitu hadits yang berbunyi, . “Barangsiapa masuk Islam karena sesuatu, maka ia adalah miliknya. ’’ Orang itu bertanya, “Ini adalah dari hadits Anda?”
Saya menjawab, “Benar, itu hadits munqathi'(terputus sanad-nya). Kami mengatakan kepada Anda karena ada kebenarannya, maka kami bertanya kepada Anda, ‘Apa pendapat Anda jika hadits ini benar adanya, apakah ini umum atau khusus?“ Orang itu menjawab, “Saya katakan bahwa hadits itu adalah umum.”
Saya katakan, “Bagaimana pendapat Anda apabila kami bertanya kepada Anda, ‘Adakah Anda melihat musuh itu memelihara orang merdeka, wanita gundik, budak mukatab, budak mudabbar atau budak yang digantikan, lalu saya serahkan kepada mereka?’.” Orang itu menjawab. “Musuh itu tidak berhak terhadap orang merdeka, gundik, atau apapun yang tidak boleh dimilikinya.”
Imam Syafi’i berkata: Saya katakan kepada orang itu, “Anda telah meninggalkan perkataan Anda bahwa itu umum.” Orang itu menjawab, “Ya!” Saya katakan, “Barangsiapa masuk Islam untuk sesuatu yang boleh dimiliki dengan cara dirampas dari pemiliknya.”
Kami katakan, sekaligus bertanya, “Gundik itu boleh dimiliki oleh pemiliknya, hingga pemiliknya meninggal dunia. Adakah ditetapkan bahwa gundik itu untuk musuh yang dimiliki hingga tuannya meninggal dunia?” Orang itu menjawab, “Tidak, karena farji-nya tidak halal bagi mereka.”
Saya katakan, “Jika Anda menghalalkan kepemilikan gundik itu dengan perampasan, berarti Anda sejajarkan perampas itu dengan kedudukan tuannya. Sesungguhnya Anda telah menyamakannya, yaitu menghalalkan farjinya atau kepemilikannya.”
Imam Syafi’i berkata: Orang itu berkata, “Saya mengambil dalil dari hadits Mughirah bahwa ia memiliki apa yang boleh dimiliknya, lalu ia masuk Islam dengan kepemilikannya itu. Nabi tidak mengeluarkan barang tersebut dari tangannya, dan tidak dibagikan seperlima.”
Imam Syafi’i berkata: Setiap yang dimiliki kafir harbi dari sesuatu yang tidak bernyawa, maka merusaknya dengan segala cara itu diperbolehkan. Saya menyukai apabila kaum muslimin memerangi negeri perang {darul barb), karena para pejuang mereka itu telah menyerang dan jumlah mereka banyak, mereka mempertahankan diri dari dalam benteng dan tidak dapat dikalahkan untuk menjadikan negeri mereka sebagai negeri Islam dan bukan negeri perjanjian (darul ‘ahdi) yang diberlakukan hukum padanya, maka kaum muslimin boleh memotong, membakar dan merusak apapun yang mereka sanggup untuk merusaknya dari buah-buahan atau pohon-pohon kayu mereka, dan mengambil harta bendamerekayang ringan dan dapat dibawa. Kemudian kaum muslimin boleh menguasainya. Saya memilih agarmereka merampasnya. Apa yang tidak sanggup mereka bawa, maka boleh mereka bakar atau ditenggelamkan.
Apabila menurut perkiraan bahwa negeri itu akan menjadi negeri Islam atau negeri perdamaian, dan diperlakukan padamereka hukum Islam, maka saya memilih untuk mencegah harta kafir harbi itu dijadikan ghanimah. Tetapi tidak baik bagi mereka membakar dan merusak harta itu hingga kafir harbi atau kafir dzimmi itu menjadi muslim, karena Rasulullah pernah memotong batang pohon kurma bani Nadhir.