Air Yang Berubah Menjadi Najis

Imām Syāfi‘ī berkata: Air terbagi atas dua macam; yang mengalir dan yang tergenang.

a. Air mengalir.

Apabila di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan; seperti bangkai, darah, atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka air yang tergenang itu menjadi najis bila kadar air lebih sedikit dari jumlah bangkai, yaitu kurang lebih lima geriba Akan tetapi bila airnya lebih dari lima geriba, maka ia tidak dikategorikan najis, kecuali apabila rasa, warna dan baunya telah berubah karena najis, sebab air yang mengalir akan menghanyutkan semua kotoran.

Apabila bangkai atau kotoran hanyut dalam aliran air, maka boleh bagi seseorang bersuci pada bagian air yang datang sesudahnya, sebab air yang mengikuti bangkai tersebut tidak dianggap air yang ditempati bangkai itu dikarenakan tidak dicampuri oleh najis. Apabila kadar air yang mengalir itu sedikit dan di dalamnya terdapat bangkai, lalu seseorang berwudhu’ dengan air di sekitarnya, maka hal itu tidak diperbolehkan jika air yang berada di sekitar bangkai itu kurang dari lima geriba. Namun boleh baginya bersuci dengan air yang berikutnya:

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila air yang mengalir baik kadarnya sedikit maupun banyak itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air di mana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.

b. Air tergenang.

Air tergenang terdiri dari dua macam:

Pertama, air yang tidak najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali apabila warna, bau dan rasanya telah berubah. Apabila sesuatu yang haram terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan; baik warna, bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik sedikit maupun banyak.

Kedua, air yang najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang haram itu tidak terdapat padanya. Apabila seseorang bertanya: “Apa alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis, padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya? Maka jawabnya adalah, hujjah dalam hal ini adalah Sunnah (hadits). Telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, dari bapaknya, bahwa Nabi bersabda:

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يْحْمِلْ نَجَسًا.

Apabila air ada dua qullah, maka ia tidak membawa najis.”

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabilla kadar air berukuran lima geriba, maka air (yang mengalir) itu tidak mengandung najis. Akan tetapi jika air kurang dari lima geriba dan bercampur dengan bangkai, maka air itu dikategorikan sebagai air yang najis. Bejananya pun najis walaupun isinya telah dituang, namun dapat suci kembali bila dicuci.

Namun apabila air yang kurang dari lima geriba itu bercampur dengan najis dan keadaan air itu menjadi berubah, maka hukumnya adalah najis. Akan tetapi jika dituangkan air lain hingga menjadi lima geriba atau lebih, maka air tersebut dianggap sebagai air yang suci. Demikian pula apabila air yang bercampur najis itu dituangkan ke air lain yang lebih sedikit darinya atau lebih banyak, dan setelah dicampur keduanya mencapai kadar lima geriba atau lebih, maka salah satu dari keduanya tidak merubah yang lainnya menjadi najis. Apabila keduanya telah mencapai lima geriba, maka keduanya adalah suci. Lalu bila dipisahkan kembali, keduanya tidak dihukum najis setelah keduanya dalam keadaan suci, kecuali bila ada najis lain yang mencampurinya.

Imām Syāfi‘ī berkata: Kotoran burung baik dagingnya dimakan atau tidak apabila berbaur dengan air, maka air itu menjadi najis, karena kotoran itu menjadi basah akibat berbaur dengan air. Adapun keringat orang Nasrani, orang Majusi, orang junub dan wanita haid tidak najis. Begitu juga keringat setiap binatang ternak dan binatang buas tidak najis, kecuali anjing dan babi.

Imām Syāfi‘ī berkata: Demikian juga dengan keringat manusia apabila bercampur dengan air, maka ia tidak najis, karena keringat seluruh manusia dan binatang ternak tidak najis dari tempat mana pun keringat itu keluar, baik dari ketiak manusia atau yang lainnya.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila bejana tanah atau sumur yang dibangun (dibeton) terkena najis yang di dalamnya terdapat sedikit air, padahal dapat menampung banyak air, kemudian terdapat pula benda haram yang bercampur dengan air itu, lalu dituangkan ke dalamnya air lain sehingga benda haram itu menjadi tidak ada, namun kadar air masih sedikit, maka air itu dianggap najis. Lalu apabila dituangkan lagi padanya air lain sebanyak air tadi, dan tidak ada lagi padanya benda yang haram, maka air itu menjadi suci. Bejana tanah dan sumur yang berisi air itu menjadi suci, keduanya dihukumi najis karena airnya.

Apabila air telah menjadi suci, maka sesuatu yang disentuh oleh air itu juga dihukumi suci. Bejana itu tidak merubah hukum air; sebagaimana air tidak merubah hukum bejana, hanya saja bejana mengikuti hukum air; ia suci dengan sucinya air dan dianggap najis karena airnya najis.

Apabila air sedikit yang berada dalam suatu bejana bercampur dengan najis, maka cukup dengan membuang airnya dan mencucinya. Kecuali apabila anjing dan babi meminum dari bejana itu, maka cara menyucikannya dengan mencucinya sampai tujuh kali di mana pada cucian yang pertama atau yang terakhir menggunakan tanah, karena ia tidak suci selain dengan cara seperti itu.

Apabila seseorang berada di laut dan tidak mendapatkan tanah, lalu orang tersebut mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah, seperti abu gosok, sikat atau yang lain, maka dalam permasalahan ini ada dua pendapat.

Pertama, bejana itu tetap tidak suci, karena menyucikannya tidak boleh dengan sesuatu yang lain kecuali dengan tanah.

Kedua, bejana itu dapat disucikan dengan sesuatu yang menggantikan tanah atau yang dapat lebih membersihkan daripada tanah.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila seseorang bertanya: “Apakah alasan anda mengatakan bahwa apabila seekor anjing atau babi meminum dari suatu bejana maka bejana itu tidak akan disucikan kecuali dengan tujuh kali cucian, sedangkan bangkai atau darah yang jatuh ke dalam bejana itu cukup dengan sekali cuci saja, meski semuanya tidak memberi perubahan apapun pada air itu?” Maka katakan kepada orang itu bahwa yang demikian itu mengikuti Rasūl s.a.w.

Imām Syāfi‘ī berkata: Telah diriwayatkan dari Abū Hurairah, ia berkata bahwa Rasūl s.a.w. bersabda:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ مِنْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ.

Apabila seekor anjing menjilat suatu bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya sampai tujuh kali.”

Imām Syāfi‘ī berkata: Kita mengatakan bahwa hukum anjing adalah najis, karena berdasar kepada sabda Rasūl s.a.w.. Sedangkan babi tidak lebih buruk keadaannya daripada anjing, maka kami mengatakan hukumnya juga sama, karena dianalogikan kepada anjing. Adapun pendapat kami bahwa selain keduanya (anjing dan babi) adalah najis, karena berdasarkan berita yang dikabarkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Hisyām bin ‘Urwah. Ia mendegar dari istrinya – Fāthimah binti al-Mundzir – dari Asmā’, ia berkata: Seorang wanita bertanya kepada Rasūl s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah pendapatmu jika salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haidh?” Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya:

إِذَا أَصَابَ ثَوْبُ إِحْدَاكُنَّ الدَّمَ مِنَ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرِصْهُ ثُمَّ لَتَنْضَحْهُ لِتُصَلِّ فِيْهِ.

Apabila kain salah seorang di antara kalian terkena darah haidh hendaklah ia mengeriknya dengan kuku kemudian dipercikkan air, lalu ia shalat dengannya.”

Imām Syāfi‘ī berkata: Tidak najis hukumnya apabila binatang yang hidup menyentuh air yang kadarnya sedikit, baik dengan cara meminumnya atau masuk ke dalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya (kecuali anjing dan babi); hanya saja binatang yang telah mati adalah najis.

Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa apabila seseorang menunggangi seekor keledai, keledai itu sampai mengeluarkan keringat, sedangkan orang itu tetap berada di atasnya dan ia halal menyentuhnya? Jawabannya, yaitu hadits Rasūl s.a.w. dari Ibrāhīm bin Muḥammad, dari Dāūd bin Ḥusain, dari bapaknya, dari Jābir bin ‘Abdullāh, bahwasanya Rasūl s.a.w. pernah ditanya: “Apakah seseorang berwudhu’ dari sisa keledai?” Rasūl s.a.w. menjawab:

نَعَمْ وَ بِمَا أَفْضَلَتِ السِّبَاعَ كُلَّهَا.

Ya, ia juga berwudhu’ dari air sisa seluruh binatang buas.”

Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka‘b bin Mālik, dari Ibnu Abī Qatādah, bahwa Abū Qatādah menunagkan air untuk berwudhu’, lalu tiba-tiba seekor kucing datang dan meminum dari bejana itu. Abū Qatādah melihatku sedang memandangnya, maka ia bertanya: “Apakah engkau heran, wahai putri saudaraku? Rasūl s.a.w. bersabda:

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ.

Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kamu.”

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila air yang sedikit atau banyak telah berubah sehingga membusuk atau berubah warnanya dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagai air yang suci. Demikian juga halnya apabila seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui apakah air itu bercampur najis atau tidak sementara warna, bau dan rasanya telah berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab najisnya. Karena ketika air itu dibiarkan dan tidak diambil sebagai air minum, maka barangkali saja ia berubah dikarenakan bercampur dengan daun kayu dan lain sebagainya.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila sesuatu yang halal terjatuh pada air dan merubah bau dan rasanya, akan tetapi air tidak menjadi rusak olehnya, maka seseorang bisa menggunakannya untuk berwudhu’; seperti apabila yang jatuh ke dalam air itu adalah kayu sehingga menimbulkan aroma tersendiri.

Adapun jika air bercampur dengan susu, madu, tepung atau yang lainnya, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat digunakan untuk berwudhu’ dikarenakan air yang didominasi oleh benda-benda itu dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, seperti dikatakan; air tepung, air susu, atau air madu yang bercampur.

Kemudian apabila sesuatu yang mempunyai kadar rendah dimasukkan ke dalam air tersebut; baik berupa tepung, susu atau madu, lalu benda-benda ini tampak pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh digunakan untuk berwudhu’, sebab air itu tidak berubah (sebagaimana adanya).

Imām Syāfi‘ī berkata: Demikian halnya jika dituangkan minyak kayu cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu cendana, maka tidak boleh berwudhu’ dengannya. Akan tetapi jika tidak menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk menggunakannya, karena apabila minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak dapat dibedakan.

Jika minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang mempunyai aroma dituangkan ke dalam air, namun tidak dapat melebur di dalamnya melainkan menimbulkan bau, maka dibolehkan berwudhu’ dengan air itu, karena tidak ada sesuatu pun dari benda-benda tersebut yang bercampur dengannya.

Jika dituangkan minyak kesturi atau dzarīrah (sejenis wangi-wangian) atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat dibedakan, lalu timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudhu’ dengan air itu, karena dia bukan air lagi, tapi air yang bercampur dengan benda.

Komentar

  1. Assalaamu’alaikum wr wb
    Kyai, ada yang saya tanyakan mengenai air. Jika ada najis atau benda mutanajis, dibasuh dengan air mengalir kan umumnya sekali saja sudah hilang atau suci. Namun ghusalahnya dihukumi apa? Bendanya sudah suci, dan air tidak berubah. Contoh, tangan terkena air kencing tidak sedikit ketika dibasuh kan hilang dan air diduga kuat tidak berubah karena airnya dari kran atau mengalir. Itu air bekas basuhannya ikut musta’mal atau mutanajis? Terima kasih.

    1. Waalaikum salam… Airnya dihukumi Mutanajis. Karena sdh jelas penggunaan airnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *