Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ يَغْتَسِلُ مِنَ الْقَدَحِ وَ هُوَ الْفَرْقُ وَ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. mandi dari al-Qadah (yaitu al-Faraq). Saya dan beliau pernah mandi dari satu bejana.”
Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, dari Maimūnah:
أنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَ النَّبِيِّ (ص) مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.
“Bahwa ia dan Nabi s.a.w. mandi dari satu bejana.”
Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Qāsim, dari ‘Ā’isyah, ia berkata:
أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ الْجَنَابَةِ.
“Saya dan Rasūlullāh mandi dari satu bejana karena janabah.”
Imām Syāfi‘ī berkata: Demikian yang menjadi pegangan kami; bahwa seseorang diperbolehkan mandi dengan menggunakan air sisa yang dipakai oleh seseorang yang mandi karena junub atau haidh, sebab Rasūl s.a.w. dan ‘Ā’isyah pernah mandi dari satu bejana yang mana keduanya dalam keadaan junub, masing-masing dari keduanya mandi dengan menggunakan sisa air mereka. Haidh tidak terletak pada tangan, dan orang mu’min bukanlah orang yang najis. Mandi hanya bersifat ta‘abbudī (ibadah), di mana pada sebagian keadaan seseorang diharuskan menyentuh air (mandi) namun tidak pada kesempatan yang lain.