Wanita yang ditawan Bersama Suaminya

Isu tawanan perang (asra al-harb) selalu menjadi salah satu bahasan penting dalam fikih Islam. Syariat Islam mengatur secara rinci bagaimana perlakuan terhadap tawanan, baik laki-laki maupun perempuan, agar tidak menyalahi nilai kemanusiaan dan kehormatan. Salah satu tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini adalah Imam Asy-Syafi’i.

Ketetapan Rasulullah ﷺ terhadap Tawanan Wanita

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ telah menetapkan hukum terhadap tawanan wanita kafir harbi (musuh yang memerangi Islam). Beliau bersabda bahwa:

  1. Wanita kafir yang ditawan menjadi budak setelah dimerdekakan dari statusnya sebelumnya.

  2. Rasulullah ﷺ melarang untuk menggauli mereka hingga mereka melewati masa haid sekali, atau jika dalam keadaan hamil, menunggu hingga melahirkan.

Hal ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan pernikahan antara tawanan wanita dengan suaminya yang kafir. Rasulullah ﷺ bersabda:

لا توطأ حامل حتى تضع، ولا حائل حتى تحيض حيضة
“Janganlah digauli wanita tawanan yang hamil hingga ia melahirkan, dan jangan pula wanita yang tidak hamil hingga ia mengalami satu kali haid.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalil Al-Qur’an tentang Wanita Tawanan

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman mengenai wanita yang bersuami, yang dilarang untuk dinikahi kecuali dalam kondisi tertentu:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 24)

Menurut tafsir Ibnu Mas‘ud raḍiyallāhu ‘anhu, ayat ini menjelaskan bahwa wanita tawanan yang telah memiliki suami, otomatis terputus hubungan pernikahannya karena status penawanan. Sehingga, mereka masuk kategori mā malakat aimānukum (budak perempuan yang dimiliki).

Ibnu Mas‘ud berkata:

هُنَّ ذَوَاتُ الأَزْوَاجِ إِذَا سُبِينَ صِرْنَ حَلَالًا لِمَنِ سَبَاهُنَّ
“Mereka (wanita tawanan) yang memiliki suami menjadi halal bagi orang yang menawan mereka (setelah status tawanan itu memutus hubungan dengan suaminya).”

Konteks Historis: Tawanan Suku Hawazin

Peristiwa ini juga terjadi pada perang melawan suku Hawazin. Rasulullah ﷺ menawan sejumlah laki-laki dari mereka. Namun, tidak diriwayatkan bahwa beliau menanyakan apakah para wanita tawanan masih bersama suami mereka, terpisah dari suaminya, ataukah suaminya tertawan sebelum atau sesudah mereka.

Hal ini menegaskan bahwa penawanan itu sendiri sudah menjadi sebab terputusnya ikatan pernikahan antara wanita tawanan dengan suaminya.

Kesimpulan

Dari penjelasan Imam Asy-Syafi’i dan dalil yang ada, dapat ditarik beberapa poin penting:

  • Islam menata hukum tawanan dengan aturan yang jelas, tidak membiarkan mereka diperlakukan semena-mena.

  • Tawanan wanita yang memiliki suami, otomatis terputus hubungan pernikahannya karena penawanan.

  • Dilarang menggauli tawanan hingga selesai masa istibra’ (satu kali haid) atau selesai melahirkan jika hamil, sebagai bentuk penjagaan nasab dan kehormatan.

  • Hukum ini diterapkan Rasulullah ﷺ dalam peperangan, seperti pada kasus tawanan suku Hawazin.

Dengan demikian, syariat Islam menghadirkan aturan yang menyeimbangkan antara realitas perang dan penjagaan terhadap martabat manusia, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun.

Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *