Imam Syafi’i berkata: Rasulullah shallallau alaihi wasallam menetapkan dua hukum pada wanita kafir harbi dari kafir watsam (penyembah berhala); Pertama, para wanita itu ditawan dan dijadikan budak sesudah merdeka. Rasulullah membagikannya dan melarang orang yang mendapat bagian untuk menggaulinya sebelum wanita itu haid, atau menunggu hingga melahirkan bila wanita itu mengandung.
Ini terjadi pada tawanan authus. Halini menunjukkan bahwa dengan tawanan itu terputuslah hubungan antara suami-istri. Tidak diizinkan menggauli wanita yang bersuami selain sesudah datangnya haid dan itu memutuskan tali hubungan suami-istri, Ibnu Mas‘ud mengatakan tentang firman Allah, “Dan (diharamktm juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki…. ” (Qs. An-Nisaa’ (4): 24) Yaitu, wanita-wanita yang mempunyai suami yang kamu miliki menjadi tawanan, dan tidaklah jarak waktu perbudakannya sesudah merdeka itu lebih dari potongan kalung (karena jaraknya yang dekat) antara mereka dengan suaminya; baik mereka itu ditawan bersama suaminya, sebelum suaminya, sesudah suaminya, atau wanita-wanita itu ada di negeri Islam atau di negeri perang. Tali hubungan itu tidak terputus kecuali dengan sebab penawanan.
Rasulullah menawan beberapa orang laki-laki dari suku Hawazin. Kami tidak mengetahui apakah beliau menanyakan suami wanita-wanita yang ditawan, yang suami-suami itu ditawan bersama para istrinya, sebelum atau sesudah istrinya, atau lakilaki itu tidak ditawan sama sekali. Apabila ada suatu maksud pada para suami itu, maka Nabi akan menanyakan kepada para istrinya.