Imam Syafi’i berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). ” (Qs. A1 Maa’idah(5): 6)
Imam Syafi’i berkata: Setiap sesuatu yang dinamakan sha’id (tanah) yang tidak bercampur dengan najis, maka dia adalah tanah yang baik (sha’idthayyib) yang boleh dipakai untuk bertayamum. Sebaliknya, setiap sesuatu yang terhalang untuk dinamakan tanah, makaia tidak boleh dipakai untuk bertayamum, dan lafazh sha’id tidaklah digunakan kecuali untuk tanah yang berdebu.
Imam Syafi’i berkata: Adapun tempat yang dilalui air hingga meninggalkan batu-batu kerikil, baik batu-batu tersebut tebal atau tipis atau batu pipih yang tebal, tidak dapat dinamakan sha’id (tanah). Apabila bercampur dengan tanah atau lumpur kering, maka yang bercampur itu dinamakan sha’id.
Apabila orang yang bertayamum menyentuhkan kedua tangannya ke tanah (sha’id) tadi lalu terdapat debu yang melekat padanya, maka ia boleh bertayamum dengannya. Namun apabila ia menyentuhkan kedua tangannya ke tanah tersebut atau ke tempat lain, namun debu tidak melekat, maka ia tidak boleh bertayamum dengannya.
Demikian juga seluruh permukaan bumi, baik berupa tanah yang gembur, lumpur yang kering, batu-batu yang terdapat pada jalur air dan selainnya yang dapat melekatkan debu apabila disentuhkan tangan kepadanya, maka cukup memadai untuk digunakan tayamum.
Apabila tanah itu kering dan orang yang hendak bertayamum menyentuhkan tangannya, lalu tanah itupun melekat padanya dalam jumlah yang banyak, maka tidak mengapa jika ia mengibaskannya sedikit saja hingga yang tersisa hanya debunya. Setelah itu, ia boleh mengusapkan ke seluruh mukanya.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang mengambil debu dari dinding, maka ia boleh bertayamum dengannya.
Apabila ia meletakkan tangannya pada dinding dan debu itu melekat pada tangannya, lalu ia pun bertayamum, maka tayamumnya dianggap telah memadai.
Apabila debu itu bercampur dengan kapur, jerami halus, tepung gandum atau yang lainnya, maka ia tidak boleh bertayamum dengannya sampai debu itu benar-benar tidak tercampur dengan sesuatu apa pun.
Imam Syafi’i berkata: Apabila batu* tembikar, atau hancuran marmer ditumbuk halus hingga menjadi seperti debu, maka tidak boleh bertayamum dengan benda-benda ini.
Imam Syafi’i berkata: Tidak boleh bertayamum dengan tawas, dzarirah (sejenis harum-haruman), kemenyan, serbuk kayu, serbuk perak atau sejenisnya.
Tidak boleh juga bertayamum apabila telah diketahui bahwa tanah itu mengandung najis sehingga ia yakin bahwa air itu telah menyucikannya, seperti yang telah kami terangkan terdahulu tentang tanah yang bercampur dengan sesuatu yang tidak berbentuk seperti air kencing, arak serta yang menyerupainya, yaitu dengan menyiramkan air kepadanya hingga menggenanginya. Sedangkan untuk tanah yang bercampur dengan najis yang mempunyai bentuk, maka najis tersebut harus dihilangkan darinya dan tempatnya disiram dengan air, atau tempatnya digali hingga diketahui tidak tersisa sedikitpun dari najis itu.
Tidak boleh bertayamum dengan tanah kuburan yang bercampur dengan nanah orang meninggal, daging serta tulang-belulang mereka.
Jika kuburan itu terkena air huj an, maka tidak boleh bertayamum dengan debu kuburan itu, karena mayit tetap ada dan tidak dapat dihilangkan oleh air, sebagaimana air menghilangkan debu