Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan wanita budak yang hamil lalu melahirkan, atau budak wanita yang tidak hamil namun kemudian hamil dan melahirkan, maka anak di luar (tidak termasuk) gadai, karena gadai hanya berkaitan dengan diri budak wanita tersebut, bukan apa yang keluar darinya. Demikian pula bila seseorang menggadaikan hewan yang bunting lalu melahirkan, atau hewan yang tidak bunting namun kemudian bunting dan melahirkan, maka anaknya di luar (tidak termasuk) gadai. Serupa dengannya apabila seseorang menggadaikan kambing yang menyusui susu. Susu yang keluar darinya diluar (tidak termasuk) gadai, karena susu bukanlah kambing.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan pohon kurma atau pohon lainnya lalu berbuah, maka buah diluar (tidak termasuk) dari gadai. Demikian pula bila seseorang menggadaikan seorang budak, lalu si budak mendapat penghasilan, maka penghasilan di luar dari gadai. Semua penghasilan harta gadai menjadi milik penggadai. Tidak ada hak bagi penerima gadai untuk menahan sesuatu dari hal-hal tersebut.
Jika budak yang digadaikan sakit, maka penggadai harus membiayai pengobatannya; dan bila meninggal dunia, maka penggadai harus mengurus pemakamannya, karena ia adalah pemilik si budak, bukan penerima gadai. Demikian pula bila yang digadaikan adalah hewan, biaya makannya ditanggung oleh penggadai, hanya saja ditempatkan pada penerima gadai. Pemilik hewan tidak dilarang menggunakan hewannya untuk mengolah ladang atau menungganginya. Jika hewan yang digadaikan memiliki susu atau dapat ditunggangi, maka penggadai dapat memerah susu dan menungganginya. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Gadai ditunggangi dan diperah”.
Imam Syafi’i berkata: Sama halnya apabila seseorang menggadaikan hewan yang digembalakan, maka pemiliknya harus mengurus penggembalaannya dan baginya air susu dan anaknya, namun dikembalikan kepada penerima gadai atau ditempatkan padanya. Jika seseorang menggadaikan hewan saat berada di suatu lembah, lalu lembah itu menjadi gersang dan penerima gadai ingin menahan hewan tetap di tempat, maka tidak ada hak baginya melakukan hal itu. Dikatakan kepadanya, “Jika engkau ridha, maka diserahkan kepada pemiliknya agar ia mencarikan rumput untuk dimakan oleh hewan ini.” Tapi bila tidak mau, maka engkau dipaksa menempatkannya pada seorang yang adil agar pemiliknya dapat memberinya makanan di tempat itu.
Jika pemilik hewan bermaksud membawa hewan itu ke tempat lain yang tidak tandus, sedangkan penerima gadai bermukim di tempat dimana transaksi terjadi, maka dikatakan kepada pemilik hewan, “Tidak ada hak bagimu untuk mengeluarkannya dari negeri dimana engkau menggadaikannya kecuali karena suatu mudharat, sementara dalam kasus ini tidak ada mudharat, maka hendaklah engkau mewakilkan kepada siapa saja untuk mengurusnya.”
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menggadaikan hewan temak lalu ia ingin mengawinkannya, namun penerima gadai tidak mau, maka tidak ada hak bagi penerima gadai untuk menolaknya. Jika yang digadaikan adalah hewan jantan untuk membuahi hewan betina, maka penggadai bisa saja melakukannya. Membuahi hewan betina termasuk nilai manfaat dari hewan jantan itu dan tidak mengurangi nilainya. Sementara penggadai memiliki hak menggunakan manfaat harta yang digadaikan.
Apabila seseorang menggadaikan budak (laki-laki atau perempuan), lalu penggadai hendak menikahkannya, maka tidak ada hak bagi penggadai melakukan hal ini, karena harga budak akan berkurang dengan sebab menikah serta dapat mendatangkan mafsadat (kerusakan) baginya. Jika harta yang digadaikan adalah sebidang tanah, maka penggadai dilarang menanaminya dengan tanaman yang belum dapat dicabut sebelum utang jatuh tempo atau saat utang jatuh tempo.
Adapun tentang tanaman yang tidak tumbuh sebelum utang jatuh tempo, terdapat dua pendapat:
Pertama, penggadai dilarang menanaminya dengan tanaman seperti itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mereka yang tidak memperbolehkan menjual tanah yang ditanami kecuali bersama tanamannya, atau apa yang akan tumbuh setelah tanah dijual. Jika penggadai tetap menanaminya tanpa izin penerima gadai, maka tanaman tersebut tidak dicabut hingga utang jatuh tempo. Jika penggadai melunasi utangnya, maka tanamannya dibiarkan. Tapi bila tanah yang ditanami itu dijual dan cukup untuk membayar utang, maka tidak ada keharusan baginya mencabut tanaman. Tapi bila tanah yang ditanami itu tidak cukup untuk membayar utang kecuali setelah tanaman dicabut, maka tanaman tersebut harus dicabut. Kecuali bila didapatkan or- ang yang membeli darinya dengan harga yang cukup untuk membayar utang, kemudian membiarkan tanaman itu secara suka rela. Pendapat ini menurut mereka yang memperbolehkan menjual tanah yang terdapat padanya tanaman.
Kedua, tidak dilarang menanaminya dalam segala keadaan, namun dilarang membuat bangunan atau tanaman dalam waktu yang lama kecuali jika ia mengatakan “Aku akan mencabutnya apabila tiba tempo pembayaran utang”.
Demikianlah, setiap kali penggadai hendak melakukan sesuatu terhadap tanah yang digadaikan. Apabila mengurangi harganya, maka dilarang; namun bila tidak mengurangi, maka tidak dilarang.
Jika seseorang menggadaikan tanah dan kurma kemudian mereka berselisih dimana penggadai mengatakan “Sungguh di tanah ini terdapat kurma dan aku tidak menggadaikannya kepadamu”, sementara penerima gadai mengatakan “Tidak ada yang tumbuh padanya melainkan termasuk gadai”, maka dalam hal ini masalahnya diserahkan kepada para ahli di bidang itu.
Jika mereka mengatakan bahwa kurma seperti itu bisa saja tumbuh setelah transaksi gadai, maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan penggadai disertai sumpahnya, dan semua yang tumbuh itu tidak termasuk gadai serta tidak dicabut hingga utangjatuh tempo. Setelah itu, hukum berlaku padanya seperti yang telah aku jelaskan. Adapun jika para ahli mengatakan bahwa kurma tersebut tidak mungkin tumbuh dalam masa setelah transaksi gadai, maka pernyataan penggadai tidak dibenarkan dan kurma itu termasuk gadai. Perkataan penggadai tidak dapat dibenarkan kecuali seperti yang telah aku katakan.
Jika seseorang menggadaikan sebidang tanah dan pohon kurma, lalu mata aimya tertimbun atau pohon kurma roboh, maka penggadai tidak dapat dipaksa untuk memperbaikinya, dan tidak ada pula keharusan bagi penerima gadai untuk memperbaikinya lalu menuntut ganti rugi kepada penggadai.
Adapun bila seseorang menggadaikan budak (laki-laki atau perempuan) kemudian penggadai menghilang atau sakit, lalu penerima gadai menafkahi budak tersebut, maka perbuatannya ini tergolong perbuatan suka- rela. Tidak ada kewajiban bagi penerima gadai menafkahi budak yang digadaikan kepadanya hingga hakim mengharuskannya, dan nafkah yang ia keluarkan ini dianggap sebagai utang bagi penggadai, sebab tidak patut makhluk yang bernyawa meninggal dunia tanpa alasan yang benar sebagaimana layaknya makhluk tidak bernyawa seperti tanah dan tumbuh- tumbuhan. Adapun hewan adalah mahluk bernyawa, maka hukumnya sama seperti budak.