Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang murtad (pindah agama) dari Islam, kemudian ia berislam kembali, maka ia harus mengganti (qadha) setiap shalat yang ditinggalkannya pada masa murtadnya dan setiap zakat yang wajib atasnya.
Apabila ia kehilangan fungsi akatoya dalam masa murtadnya, baik karena sakit atau sebab lain, maka ia haras mengganti {qadha) shalat pada hari-hari dimana akalnya tidak berfungsi.
Jika ditanyakan, “Mengapa Anda tidak menganalogikan orang murtad itu dengan orang musyrik yang masuk Islam, sehingga kita tidak memerintahkan kepadanya untuk mengulangi shalatnya.”
Jawabannya ialah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta ’ala membedakan antara keduanya, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lain. ” (Qs. Al Anfaal (8): 38)
Allah Subhanahu wa Ta ’ala membatalkan amalnya dengan sebab murtad. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa hukum orang murtad adalah dibunuh apabila ia tidak bertaubat dan hartanya berstatus mauquf (dibiarkan), lalu menjadi harta rampasan jika ia telah meninggal, atau dikembalikan kepadanya jika ia bertaubat.