Imam Syafi’i berkata: Tidak diterima shalat orang yang mengimami suatu kaum dimana kaum itu tidak suka kepadanya, tidak diterima shalat seorang wanita yang suaminya tidak bersamanya, dan tidak diterima juga shalat seorang budak yang lari dari tuannya sehingga ia kembali.
Saya tidak menghafal riwayat yang sama seperti itu melalui jalur yang dinyatakan autentik oleh para ahli ilmu, namun yang dimaksudkan -wallahu a ’lam- adalah seseorang yang bukan penguasa (wali negeri) tetapi mengimami suatu kaum dimana mereka tidak menyukainya, maka saya memandang makruh imam yang demikian. Adapun bagi makmum, hal itu tidak mengapa (yakni; keadaan seperti ini tidak mengapa bagi mereka), sebab mereka tidak melakukan sesuatu yang tidak disukai, dan shalatnya makmum dalam keadaan yang seperti ini telah memadai (sah). Saya tidak mengetahui adanya kewajiban bagi imam untuk mengulangi shalatnya, karena perbuatan buruk yang tampil ke depan tidaklah mencegahnya untuk melaksanakan shalat (sebagaimana mestinya).
Demikian juga tentang seorang istri yang shalat dan suaminya tidak bersamanya, demikian juga budak yang lari dari tuannya. Saya mengkhawatirkan shalat mereka (tidak diterima), namun tidak ada keharusan bagi salah seorang dari mereka untuk mengulangi shalat yang dilakukan pada kondisi seperti itu. Adapun saya tidak menyukai seorang pemimpin suatu kaum yang kaumnya tidak suka padanya. Jika mayoritas mereka menyenangi dan mengangkatnya sedang yang tidak menyenangi relatif sedikit, maka saya tidak memakruhkan hal itu baginya kecuali dari sisi makruhnya (tidak disukai) memegang kekuasaan secara garis besar.