Imam Syafi’i berkata: Diperbolehkan melakukan salaf pada susu sebagaimana diperbolehkan salaf pada dadih. Sah dan tidaknya melakukan salafpada susu ini ada seperti yang terjadi pada dadih, bisa jadi dengan meninggalkan ucapan “Ini susu kambing”, “Ini susu biri-biri”, atau “Ini susu sapi”. Jika susu itu adalah susu unta, maka harus dikatakan, “Susu ghawad “Susu aurak”, atau “Susu khumaishah”. Ia pun harus mengatakan apakah susu yang ada itu susu binatang yang digembalakan atau susu binatang yang diberi umpan, karena adanya perbedaan antara susu binatang yang digembalakan dengan susu binatang yang diberi umpan; baik dalam hal rasa, kesehatan dan harganya. Jika hal-hal di atas tidak dipenuhi (tidak disebutkan ketika melakukan salaf), maka salaf yang dilakukan adalah batal. Selain itu, tidak diperbolehkan pula kecuali ia menyebutkan susu halib atau mengatakan susu baru (hari itu), karena susu itu akan berubah pada keesokan harinya.
Imam Syafi’i berkata: Jika dilakukan salaf padanya dengan takaran, maka tidak boleh menakamya apabila di dalamnya terdapat buih, karena buih itu dapat menambah takarannya. Buih itu bukanlah susu yang dapat tersisa bersama tersisanya susu. Tetapi jika penjualan secara salafdilakukan dengan timbangan, maka boleh menimbang buihnya, karena buih itu tidak menambah berat timbangan.
Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan melakukan salaf pada susu mafchid (susu yang dikeluarkan sari patinya), karena ia tidak dapat menjadi susu makhid kecuali dengan dikeluarkan dadih-nya. Sedangkan dadih tersebut tidak dapat keluar dari susu itu kecuali dengan air, sebab pembeli tidak mengetahui berapa kadar air yang ada di dalamnya dikarenakan tersembunyi (tercampur) dalam susu. Terkadang, penjual pun tidak mengetahui hal itu.
Imam Syafi’i berkata: Tidak diperbolehkan melakukan salaf pada susu masam, karena terkadang semakin bertambah hari susu itu akan semakin masam. Jika demikian, maka susu tersebut akan semakin mempunyai kekurangan. Tidak diperbolehkan menjual susu yang masih berada dalam amling kambing, meskipun berkumpul padanya sekali perahan, karena tidak diketahui berapa kadarnya dan bagaimana kondisinya. Hal itu juga bukan benda yang dapat dilihat, tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan tanggungan bagi pemiliknya dengan adanya sifat dan takaran. Hal ini tentu keluar dari ketentuan yang dibolehkan pada beberapa penjualan yang terjadi di kalangan kaum muslimin.