Imam syafi’i berkata: Hewan kurban terdiri dari unta, sapi dan kambing. Dalam hal unta sama saja apakah unta tersebut unta bukhti (unta yang lehernya panjang) atau unta ‘arab. Termasuk hewan kurban adalah kerbau, domba, dan kambing. Barangsiapa bernadzar untuk menyembelih hewan kurban dan ia menentukan hewan tersebut, maka hewan yang ia tentukan harus ia sembelih, baik kecil atau besar. Tapi jika ia tidak menentukan syarat sedikitpun, maka ia boleh berkurban dengan hewan yang sah untuk denda membunuh binatang buruan atau yang sepadan dengannya.
Unta yang boleh dijadikan hewan kurban adalah unta yang berumur 5 tahun masuk tahun ke-6. Sapi yang boleh dijadikan hewan kurban adalah sapi yang berumur 2 tahun masuk tahun ke-3. Kambing yang boleh dij adikan hadyu adalah yang sudah berumur 1 tahun masuk tahun ke-2 atau yang lebih dari itu.
Hewan kurban ini boleh berjenis kelamin jantan atau betina. Adapun hewan kurban yang berupa domba, maka minimal harus berupa jadza ’ (domba yang berumur genap 1 tahun, dan ada sedikit orang yang mengatakan berumur 6 bulan).
Tempat yang wajib dijadikan sebagai tempat penyembelihan hewan kurban adalah Tanah Haram, tidak boleh disembelih di Tanah Halal kecuali apabila yang bersangkutan mensyaratkan untuk menyembelihnya di suatu tempat di muka bumi ini.
Maka, dalam hal ini ia boleh menyembelih di tempat yang sudah ditentukan. Atau orang yang terhalang oleh musuh, ia boleh menyembelih di tempat di mana ia terhalang.
Apabila hewan kurban tersebut bunting kemudian melahirkan anak, dan jika anaknya mampu berjalan mengikuti induknya, hendaklah orang tersebut menggiringnya. Tapi jika anak tersebut tidak mampu berjalan, maka ia harus menggendongnya, dan boleh digendongkan di atas induknya. Orang yang berkurban tidak boleh minum susu dari hewan tersebut, kecuali apabila anaknya sudah kenyang. Begitu juga tidak boleh memberi susu tersebut kepada orang lain.
Perlu diketahui bahwa hewan kurban ada dua macam, yaitu hewan kurban yang sunah dan hewan kurban yang wajib. Apabila hewan kurban wajib itu cacat atau sakit sebelum sampai ke Tanah Haram, maka pemiliknya boleh menjualnya, menghibahkannya atau menahannya untuk dirinya sendiri, tapi dia harus mengganti dengan hewan lain.
Apabila ia menyedekahkan hewan tersebut kepada orang-orang miskin dalam keadaan cacat atau sakit, maka ia harus mengganti dengan hewan lain, karena hewan tersebut sudah tidak sah sebagai hewan hewan kurban ketika sakit atau cacat sebelum sampai ke tempat penyembelihan.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyembelih hewan kurban tapi binatang tersebut tidak diberikan kepada orang-orang miskin, atau disembelih di pelosok negeri yang tidak diketahui oleh orang-orang miskin hingga daging binatang tersebut busuk, maka ia harus mengganti dengan hewan lain.
Penyembelihan hewan kurban adalah pada hari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah)danhari-hari Mina, atau hari-hari tasyrik (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah) hingga matahari tenggelam di akhir hari tasyrik (tanggal 13 Dzulhijjah).
Apabila matahari sudah tenggelam pada tanggal 13 Dzulhijjah, maka sudah tidak diperbolehkan untuk menyembelih hewan kurban. Menyembelih hewan kurban boleh dilakukan di siang hari atau di malam hari. Tapi saya tidak menyukai penyembelihan yang dilakukan di malam hari, karena dikhawatirkan akan salah sasaran dalam menyembelih, atau karena tidak banyak dari orang-orang miskin yang akan hadir.
Cara menyembelih unta adalah dengan tidak diikat dan dalam keadaan berdiri (penyembelihan secara nahar). Tapi jika unta tersebut disembelih dengan diikat dan dalam keadaan berbaring, maka penyembelihan tersebut dianggap sah.
Adapun menyembelih sapi dan kambing adalah dengan cara dzabh (diikat dan dibaringkan). Tapi apabila unta disembelih dengan cara dzabh, atau sapi dan kambing disembelih dengan cara nahar, maka hal itu sah, hanya saja saya memakruhkannya.
Hewan-hewan kurban ada dua macam, yaitu yang wajib dan yang sunah. Hewan kurban yang wajib adalah yang pemiliknya tidak boleh mengambil dagingnya dan tidak boleh memakannya sedikitpun; misalnya hewan kurban dalam rangka membayar denda hajinya yang batal, memakai wewangian ketika ihram, membunuh binatang buruan, melakukan haji Tamattu’, atau hewan kurban yang dinadzarkan. Jika ia memakan sebagian daging hewan kurban tersebut, maka ia harus membayar ganti rugi dengan bersedekah seharga daging yang ia makan.
Apabila seseorang bernadzar untuk melakukan haji, namun ia tidak menentukan kapan waktunya, maka la harus melaksanakan hajinya pada bulan-bulan haji di tahun yang ia kehendaki.
Apabila seseorang berkata, “Saya bemadzar untuk melaksanakan haji apabila si fulan menghendaki”, maka nadzar seperti ini tidak sah dan ia tidak wajib melaksanakan haji tersebut serta tidak wajib membayar denda walaupun si fulan menghendakinya, sebab nadzar itu hanya karena Allah, bukan kepada manusia .
Apabila seseorang bernadzar untuk mengurbankan sesuatu yang tidak bisa dibawa (harta yang tidak bergerak) seperti tanah dan rumah, maka dalam hal ini ia harus menjual tanah atau rumahnya lalu hasilnya dikurbankan untuk disedekahkan.
Apabila seseorang bernadzar untuk berkurban seekor unta, maka kurban tersebut tidak sah kecuali unta tersebut sudah berumur 5 tahun memasuki tahun ke-6, boleh yang jantan dan boleh yang betina serta boleh juga yang dikebiri. Apabila tidak mendapatkan unta, ia boleh mengganti dengan sapi yang berumur 2 tahun memasuki tahun ke-3, atau yang lebih tua dari itu. Jika ia tidak mendapatkan sapi, maka boleh menggantinya dengan kambing yang berumur 1 tahun memasuki tahun ke-2, atau yang lebih dari itu. Atau berupa kambing domba yang sudah ompong giginya. Apabila orang tersebut hanya bemiat untuk berkurban seekor unta dan tidak mau menggantinya dengan sapi atau kambing, maka ia hams mengganti harga unta tersebut lalu disedekahkan (apabila dia tidak mendapatkan seekor unta).
Apabila seseorang bernadzar untuk menyembelih hewan kurban, dan ia tidak menentukan jenis apapun, maka yang lebih saya sukai adalah ia harus menyembelih seekor kambing. Apabila seseorang bernadzar untuk berpuasa selama satu tahun dan sudah ditentukan tahunnya, maka ia harus berpuasa sepanjang tahun yang sudah ia tentukan itu, kecuali puasa Ramadhan. Ia tidak boleh berpuasa pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyrik serta tidak perlu diqadha. Jika nadzar tersebut tidak ditentukan tahunnya, maka ia boleh berpuasa kapan saja hingga genap satu tahun. Apabila seseorang makan atau minum padahal ia sedang puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa kifarat, puasa wajib lainnya atau puasa sunah, dan hal itu dilakukan karena lupa, maka puasanya sah dan ia tidak wajib mengqadha.
Apabila seseorang berkata, “Karena Allah, wajib atas diri saya berpuasa selama satu hari yaitu pada hari datangnya si fulan”, tapi temyata si fulan datang pada malam hari, maka ia tidak wajib berpuasa pada pagi harinya karena si fulan telah datang pada malam hari, bukan di siang hari. Tapi saya menyukai jika ia tetap berpuasa di hari itu. Apabila si fulan datang pada waktu siang dan orang yang bernadzar telah berbuka puasa, maka ia wajib mengqadha puasa nadzar tersebut, karena nadzar itu tidak boleh kecuali dengan niat yang dilakukan sebelum fajar.
Apabila seseorang bemadzar untuk shalat atau puasa dan ia tidak menyebutkan jumlah shalat dan puasa tersebut, maka sekurang-kurangnya ia wajib melaksanakan shalat dua rakaat atau puasa satu hari, karena sekurang- kurangnya shalat adalah dua rakaat dan sekurang-kurangnya puasa adalah satu hari.
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang berkata; “Karena Allah wajib atasku (aku bernadzar) untuk memerdekakan seorang budak”, maka ia boleh memerdekakan budak mana saja yang ia kehendaki. Sampai di sini perkataan Imam Syafi’i.