Dalam fikih Islam, salah satu pembahasan yang cukup rinci adalah hukum mengenai tawanan perang (asra al-harb) yang masuk dalam kategori harta rampasan (ghanimah). Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan penjelasan penting terkait kasus seorang prajurit muslim yang menggauli budak wanita tawanan sebelum harta rampasan dibagikan secara resmi.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i berkata:
إذا وقع رجل من المسلمين على جارية من السبي قبل أن تقسم الغنيمة، فإن لم تحمل أُخذ منه مهر مثلها وردّت إلى المغنم، ونُهي أن يعود إن كان جاهلًا، وإن كان عالمًا عُزر؛ لأنه قد وقع له فيها شبهة ملك.
فإذا قسمت الغنيمة، وحُسب سهمه، أُخذ من سهمه مهرها.
فإن حملت، فقيمتها على الرجل، وتكون له أمة يطؤها.
وإن كان ذلك زنى، فلا مهر له.
Artinya:
“Apabila seorang lelaki dari kaum muslimin menggauli seorang budak wanita dari tawanan sebelum harta rampasan dibagikan, maka jika budak itu tidak hamil, diambil darinya maskawin sepadan lalu wanita itu dikembalikan kepada harta rampasan. Jika ia seorang yang bodoh, dilarang mengulangi perbuatannya; jika ia orang berilmu, maka ia dikenai hukuman ta‘zir, karena ada syubhat kepemilikan. Apabila ghanimah sudah dibagikan dan bagian lelaki itu dihitung, maka maskawin tersebut diambil dari bagiannya. Jika budak wanita itu hamil, maka ia dinilai harganya oleh lelaki tersebut dan menjadi gundiknya. Tetapi apabila perbuatan itu murni zina, maka tidak ada maskawin baginya.”
Analisis Hukum
Dari penjelasan Imam Asy-Syafi’i dapat ditarik beberapa poin hukum penting:
-
Belum Boleh Digauli sebelum Pembagian Ghanimah
Tawanan wanita yang termasuk harta rampasan tidak boleh digauli sebelum dibagikan secara resmi. Karena sebelum itu, status kepemilikannya masih milik bersama kaum muslimin, bukan individu. -
Maskawin sebagai Konsekuensi
Jika seorang muslim melanggar lalu menggauli tawanan sebelum dibagikan, maka ia dikenai kewajiban membayar mahr al-mitsl (maskawin sepadan) sebagai bentuk ganti rugi, dan wanita tersebut dikembalikan ke harta rampasan. -
Perbedaan Perlakuan antara Orang Bodoh dan Berilmu
-
Jika pelaku seorang yang bodoh (tidak tahu hukum), maka ia dilarang mengulanginya.
-
Jika pelaku seorang yang berilmu, ia dikenai hukuman ta‘zir (hukuman sesuai kebijakan hakim) karena ada syubhat kepemilikan.
-
-
Jika Tawanan Hamil
-
Apabila tawanan tersebut hamil akibat perbuatan itu, maka lelaki yang menggaulinya harus membayar nilainya, dan wanita itu menjadi gundiknya.
-
Tetapi, jika perbuatan tersebut murni zina tanpa syubhat, maka tidak ada kewajiban maskawin.
-
Dalil dan Landasan Syariat
Hukum ini bersandar pada prinsip umum dalam syariat bahwa hubungan suami-istri yang sah hanya dibenarkan melalui akad nikah atau kepemilikan yang jelas (milk al-yamīn). Allah ﷻ berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
(QS. Al-Mu’minūn [23]: 5-6)
Ayat ini menegaskan bahwa kepemilikan budak wanita sebagai gundik hanya sah jika telah jelas kepemilikannya. Adapun sebelum dibagikan, status kepemilikan belum pasti sehingga tidak boleh digauli.
Kesimpulan
Pandangan Imam Asy-Syafi’i mengenai kasus ini menegaskan prinsip penting dalam hukum Islam:
-
Tawanan wanita adalah harta kaum muslimin secara kolektif sebelum pembagian ghanimah, sehingga tidak boleh digauli.
-
Pelanggaran terhadap aturan ini dikenai sanksi berupa kewajiban maskawin dan hukuman ta‘zir.
-
Islam menjaga kehormatan tawanan, meskipun mereka berada dalam kondisi perang.
Dengan demikian, syariat Islam menunjukkan keseimbangan antara realitas peperangan dan perlindungan martabat manusia, termasuk mereka yang berada dalam status tawanan.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

