Dalam pembahasan fiqih ghanimah, Imam Syafi’i memberikan banyak arahan yang detail terkait perlakuan terhadap harta rampasan perang. Salah satunya adalah ketika ada makanan berlebih di negeri musuh setelah peperangan selesai. Persoalan ini menjadi penting, karena menyangkut siapa yang berhak memanfaatkannya dan bagaimana jika terjadi transaksi dengan orang yang tidak termasuk bagian dari kaum muslimin.
Imam Syafi’i berkata:
فَإِذَا كَانَ فِي يَدِ رَجُلٍ طَعَامٌ فَضْلًا بِدَارِ الْحَرْبِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَرْبِ، فَدَخَلَ رَجُلٌ لَيْسَ بِشَرِيكٍ فِي الْغَنِيمَةِ مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَتَبَايَعَا، لَمْ يَجُزْ لَهُ الْبَيْعُ، لِأَنَّهُ يُعْطِي مَنْ لَا يَحِلُّ لَهُ أَكْلُهُ، فَالْبَيْعُ مَرْدُودٌ.
“Apabila di tangan seseorang ada kelebihan makanan di negeri musuh sesudah perang selesai, lalu masuklah seseorang yang tidak bersekutu dalam ghanimah bersama kaum muslimin, kemudian ia memperjualbelikannya, maka tidak boleh baginya untuk menjualnya, karena ia memberikan kepada orang yang tidak halal baginya memakan makanan itu. Maka penjualan tersebut ditolak.”
فَإِذَا هَلَكَ الطَّعَامُ رَدَّ قِيمَتَهُ إِلَى الْإِمَامِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَحْبِسَ قِيمَتَهُ، وَلَا يُخْرِجَهَا إِلَى مَنْ لَا يَحِلُّ لَهُ أَكْلُهُ.
“Apabila makanan itu hilang, maka ia wajib mengembalikan nilai harganya kepada imam. Ia tidak boleh menahan nilai harganya, dan tidak boleh pula mengeluarkannya kepada orang yang tidak halal baginya memakan makanan itu.”
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, terdapat beberapa poin penting:
-
Hak atas ghanimah hanya untuk kaum muslimin yang ikut berperang.
Orang luar yang tidak termasuk bagian dari pasukan muslim tidak berhak mendapatkan bagian makanan dari ghanimah. -
Larangan transaksi dengan orang yang tidak berhak.
Jika seorang muslim menjual makanan itu kepada orang yang tidak halal baginya (non-muslim atau pihak yang tidak berhak), maka transaksi tersebut batal. -
Tanggung jawab atas kerusakan.
Apabila makanan tersebut hilang atau rusak, pemegang makanan harus mengganti nilainya dan menyerahkannya kepada imam sebagai pengelola harta ghanimah. -
Tidak boleh menahan atau menyalurkan ke pihak yang salah.
Orang tersebut tidak diperkenankan menahan harta ghanimah maupun memberikannya kepada pihak yang tidak berhak.
Ketentuan ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil.” (QS. Al-Anfāl: 41).
Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan:
إِنَّمَا الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ
“Sesungguhnya harta ghanimah itu hanya untuk orang yang ikut menyaksikan peperangan.” (HR. Abu Dawud).
Imam Syafi’i menekankan bahwa makanan sisa perang di negeri musuh tidak boleh diperjualbelikan dengan pihak yang tidak berhak. Apabila terjadi, maka transaksinya batal, dan jika makanan hilang, nilainya wajib dikembalikan kepada imam. Prinsip ini menegaskan pentingnya pengelolaan ghanimah secara adil, teratur, dan sesuai syariat, serta mencegah adanya penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak.

