Utang Pangan di Negeri Musuh

Dalam kondisi peperangan, terdapat aturan khusus mengenai kepemilikan dan penggunaan harta yang diperoleh dari negeri musuh (darul harb). Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang bagaimana hukum utang dalam bentuk makanan atau pakan ternak di negeri musuh, serta bagaimana statusnya ketika sudah keluar dari negeri tersebut.

Imam Syafi’i berkata:

فَإِذَا أَقْرَضَ رَجُلٌ رَجُلًا طَعَامًا أَوْ عَلَفًا فِي دَارِ الْحَرْبِ فَلْيَرُدَّهُ عَلَيْهِ، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُ، لِأَنَّهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَدْ أُبِيحَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَهُ، وَلَمْ يُبَحْ لَهُ إِذَا خَرَجَ مِنْهَا أَنْ يَأْكُلَهُ، وَعَلَى الْمُسْتَقْرِضِ أَنْ يَرُدَّهُ إِلَى الْإِمَامِ.

Artinya:
“Apabila seseorang memberi utang berupa makanan atau makanan hewan di negeri musuh kepada orang lain, maka hendaklah ia mengembalikannya. Jika keluar dari negeri musuh, maka ia tidak perlu mengembalikannya, karena di negeri musuh ia diizinkan untuk memakannya. Tidak diizinkan jika ia meninggalkan negeri musuh hanya untuk memakannya, dan yang meminjam hendaknya mengembalikannya kepada imam (penguasa).”

Imam Syafi’i menekankan adanya perbedaan hukum antara penggunaan makanan di darul harb dan setelah keluar dari wilayah tersebut:

  1. Di dalam darul harb – makanan atau pakan hewan yang dipinjamkan harus dikembalikan, karena penggunaannya memang diizinkan sementara oleh syariat untuk kebutuhan mendesak.

  2. Setelah keluar dari darul harb – tidak lagi ada kewajiban mengembalikan makanan yang telah dikonsumsi, sebab izin penggunaan hanya berlaku di medan peperangan, bukan di luar.

  3. Batasan hukum – seseorang tidak boleh sengaja membawa makanan dari negeri musuh untuk kepentingan pribadi. Bila ada sisa atau kelebihan, maka harus diserahkan kepada imam (penguasa) agar dimasukkan ke dalam harta ghanimah.

  4. Tanggung jawab peminjam – jika masih ada sisa dari makanan atau pakan tersebut, ia wajib menyerahkannya kepada imam, bukan dimanfaatkan untuk diri sendiri.

Beberapa dasar syariat yang menjadi rujukan antara lain:

  1. Larangan pengkhianatan terhadap harta perang:

وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa berkhianat dalam urusan ghanimah, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.” (QS. Āli ‘Imrān: 161)

  1. Kewajiban taat kepada imam dalam urusan harta ghanimah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Syafi’i menegaskan bahwa penggunaan makanan dari negeri musuh diperbolehkan hanya sebatas kebutuhan di medan peperangan, bukan untuk dimanfaatkan setelah keluar dari wilayah tersebut. Bila ada sisa, maka statusnya kembali menjadi harta ghanimah yang harus diserahkan kepada imam. Prinsip ini menunjukkan betapa syariat menekankan kejujuran, pengelolaan kolektif, dan larangan mengambil keuntungan pribadi dari harta yang bukan haknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *