Hukum Li‘an dan Qadzaf bagi Non-Muslim

Li‘an (sumpah saling melaknat) dan qadzaf (tuduhan zina tanpa bukti) merupakan dua perkara besar dalam hukum Islam. Keduanya diatur secara rinci dalam syariat, baik untuk menjaga kehormatan rumah tangga maupun melindungi individu dari tuduhan yang tidak benar. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan pandangan penting mengenai bagaimana hukum ini berlaku bagi non-Muslim, khususnya kaum Nasrani yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam (ahl al-dzimmah).

Pandangan Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i berkata:

إذا قذف النصراني امرأته بالزنا، فشكت إلى الحاكم، فرضيا بحكم الإسلام، تلاعنا ويفرّق بينهما، ويُلحق الولد بأمه كما نفعل بالمسلمين.
وإن قذفها ولم يرض هو بالإسلام، عزر ولم يحد؛ لأنه لا حد على من قذف نصرانية، وتبقى امرأته معه.

Artinya:
“Apabila seorang Nasrani menuduh istrinya berzina, lalu istrinya mengadukan kepada hakim dan keduanya ridha dengan hukum Islam, maka keduanya dapat melakukan li‘an, mereka harus diceraikan, dan anaknya dinisbatkan kepada ibunya sebagaimana yang kita lakukan terhadap kaum muslimin. Namun apabila seorang Nasrani melakukan qadzaf terhadap istrinya, lalu keduanya mengadukan kepada hakim, tetapi suaminya tidak mau beriman (kepada hukum Islam), maka ia dikenai hukuman ta‘zir, bukan had. Karena orang yang menuduh wanita Nasrani tidak dikenakan had, dan istrinya tetap bersamanya.”

Analisis Hukum

Dari pandangan Imam Asy-Syafi’i ini, dapat ditarik beberapa poin hukum penting:

  1. Li‘an Berlaku Jika Mereka Ridha dengan Hukum Islam

    • Jika pasangan non-Muslim (misalnya Nasrani) membawa perkaranya kepada hakim muslim dan setuju dengan hukum Islam, maka mereka tunduk pada aturan syariat.

    • Dalam kasus tuduhan zina oleh suami, mereka dapat melakukan li‘an, diputuskan cerai, dan anaknya dinisbatkan kepada ibunya.

  2. Qadzaf tanpa Li‘an

    • Jika suami Nasrani menuduh istrinya zina tetapi tidak tunduk pada hukum Islam, maka ia tidak dikenai hukuman had (hadd al-qadzaf), melainkan ta‘zir.

    • Hal ini karena had qadzaf hanya berlaku atas tuduhan terhadap wanita muslimah yang terjaga kehormatannya (muhshanah).

  3. Kedudukan Istri Tetap Bersama Suaminya

    • Apabila tidak dilakukan li‘an karena suami tidak tunduk pada hukum Islam, maka hubungan pernikahan mereka tetap berlangsung.

Dalil Al-Qur’an tentang Li‘an

Allah ﷻ berfirman tentang li‘an dalam rumah tangga muslim:

وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ ۝ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan akan dihindarkan darinya (istri) hukuman apabila ia bersaksi empat kali atas nama Allah bahwa suaminya termasuk orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya jika suaminya itu termasuk orang yang benar.”
(QS. An-Nūr [24]: 8-9)

Ayat ini menjadi dasar hukum li‘an dalam syariat Islam. Adapun bagi ahl al-dzimmah, li‘an baru berlaku jika mereka rela untuk berhukum kepada Islam.

Kesimpulan

Pandangan Imam Asy-Syafi’i menegaskan beberapa prinsip penting:

  • Li‘an berlaku bagi non-Muslim jika mereka rela berhukum dengan syariat Islam, dengan konsekuensi yang sama sebagaimana berlaku bagi kaum muslimin.

  • Qadzaf oleh non-Muslim terhadap sesama non-Muslim tidak dikenakan hukuman had, tetapi tetap dikenai hukuman ta‘zir demi menjaga ketertiban dan kehormatan.

  • Syariat Islam adil dalam menerapkan hukum: melindungi kehormatan keluarga muslim maupun non-Muslim yang hidup dalam masyarakat Islam, sesuai dengan kadar kewajiban mereka terhadap syariat.

Dengan demikian, hukum Islam bukan hanya mengatur kaum muslimin, tetapi juga memberikan ruang bagi non-Muslim yang hidup berdampingan untuk mendapatkan keadilan, selama mereka rela berhukum kepada syariat.

Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *