Fikih Islam memberikan aturan rinci tentang tawanan perang (asra al-harb) dan pembagian harta rampasan (ghanīmah). Salah satu pembahasan yang cukup penting adalah bagaimana hukum jika dalam peperangan seorang muslim mendapatkan bapaknya atau anaknya yang menjadi tawanan di pihak musuh.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan:
إذا غزا المسلمون العدو فوجدوا ولد مسلم قد استرقه العدو، أو أبًا لمسلم في دار الحرب، فصار فيئا للمسلمين، فإن الابن والأب لا يعتقان حتى يقسم السبي.
فإن أصاب الرجل أحدهما أو كلاهما، فإن الأب والابن يعتقان عليه وإن لم يعتقهما.
Artinya:
“Apabila kaum muslimin menyerbu musuh, lalu mereka mendapatkan seorang anak muslim yang telah dijadikan budak oleh musuh, atau seorang bapak muslim yang masih berada di negeri harbi, lalu ia menjadi bagian rampasan perang kaum muslimin, maka bapak dan anak tersebut tidak otomatis merdeka sebelum tawanan dibagikan. Tetapi apabila seseorang mendapatkan bagian berupa bapaknya atau anaknya, maka bapak dan anak itu menjadi merdeka baginya walaupun ia tidak memerdekakannya.”
Kedudukan Nasab dalam Hukum Tawanan
Hukum ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga ikatan keluarga, khususnya antara orang tua dan anak. Status milk al-yamīn (kepemilikan budak) tidak bisa berlaku atas orang tua terhadap anaknya, atau anak terhadap orang tuanya. Hal ini berdasarkan prinsip umum dalam syariat:
لا يملك الوالد ولده، ولا الولد والده
“Seorang bapak tidak bisa memiliki anaknya, dan seorang anak tidak bisa memiliki bapaknya.”
Dalil Umum dalam Al-Qur’an
Prinsip kemuliaan orang tua dalam Islam ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua.”
(QS. Al-Isrā’ [17]: 23)
Ayat ini menguatkan prinsip bahwa dalam syariat, hubungan darah tidak boleh direndahkan oleh status perbudakan.
Konsekuensi Fikih
Dari penjelasan Imam Asy-Syafi’i dapat diambil beberapa ketentuan hukum:
-
Apabila tawanan adalah bapak atau anak seorang muslim, maka status mereka menunggu pembagian tawanan.
-
Jika dalam pembagian, seorang muslim mendapatkan bapak atau anaknya sebagai bagian, maka secara otomatis bapak dan anak itu merdeka.
-
Kepemilikan tidak berlaku dalam hubungan bapak-anak, karena prinsip syariat menutup kemungkinan seseorang memperbudak nasabnya sendiri.
Kesimpulan
Pandangan Imam Asy-Syafi’i ini memperlihatkan sisi kemanusiaan syariat Islam dalam konteks peperangan. Walaupun tawanan perang pada masa itu termasuk dalam harta rampasan, Islam tetap menjaga hubungan keluarga dan menegaskan bahwa bapak dan anak tidak boleh saling diperbudak.
Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya mengatur masalah perang secara strategis, tetapi juga mengedepankan prinsip penghormatan terhadap nasab dan hubungan keluarga, yang menjadi pilar penting dalam kehidupan umat.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

