Murah Hati dan Dermawan Serta Membelanjakan dalam Arab Kebaikan dengan Percaya Penuh Kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan apa saja yang engkau semua nafkahkan, maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39) Allah Ta’ala juga berfirman:

“Dan barang-barang baik  dari rezeki  yang engkau semua nafkahkan itu adalah untuk dirimu sendiri dan engkau semua tidak menafkahkannya melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah, juga barang-barang baik yang engkau semua nafkahkan itu, niscaya akan dibayar kepadamu dan tidaklah engkau semua dianiaya.” (al-Baqarah: 272)

Allah Ta’ala berfirman lagi:

“Dan barang-barang baik yang berupa apapun juga yang engkau semua nafkahkan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273)

Dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:

“Tiada kehasudan yang dibolehkan melainkan dalam dua macam perkara, yaitu: seseorang yang dikarunia oleh Allah akan herta, kemudian ia mempergunakan guna menafkahkannya itu untuk apa-apa yang hak kebenaran dan seseorang yang dikaruniai oleh Allah akan ilmu pengetahuan, kemudian  ia  memberikan keputusan dengan ilmunya itu  antara dua orang atau dua golongan yang berselisih serta mengajarkannya pula.” (Muttafaq ‘alaih)

Artinya ialah bahwa seseorang itu tidak patut dihasudi atau diri kecuali dalam salah satu kedua perkara di atas itu.

Dari Ibnu Mas’ud r.a. pula katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Siapakah di antara engkau semua yang harta orang yang mewarisinya itu dianggap lebih disukai daripada hartanya sendiri?” Para sahabat menjawab: “Ya Rasulullah, tiada seorangpun dari kita ini, melainkan hartanya adalah lebih dicintai olehnya.” Kemudian beliau s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya hartanya sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedang harta orang yang mewarisinya adalah apa-apa yang ditinggalkan olehnya  setelah matinya.” (Riwayat Bukhari)

Keterangan:

Maksudnya yang telah terdahulu digunakannya, misalnya yang dipakai untuk makan minumnya, pakaiannya, perumahannya atau yang diberikan untuk sedekah atau Iain-Iain yang berupa pertolongan kesosialan. Selebihnya tentulah akan ditinggalkan, jika telah meninggal dunia.

Oleh sebab itu Hadis di atas secara tidak langsung memberikan sindiran kepada kita kaum Muslimin agar gemar harta yang ada di tangan kita yang sebenarnya hanya titipan dari Allah Ta’ala itu, supaya kita nafkahkan untuk jalan kebaikan, semasih kita hidup di dunia ini. Dengan demikian kemanfaatannya akan dapat kita rasakan setelah kita ada di akhirat nanti.

Dari ‘Adi bin Hatim r.a. bahwasanya Rasuiullah s.a.w. bersabda:

“Takutlah engkau semua dari siksa api neraka,sekalipun dengan menyedekahkan potongan kurma.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Jabir r.a., katanya: “Tiada pernah samasekali Rasuiullah s.a.w. itu dimintai sesuatu, kemudian beliau berkata: “Jangan.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasuiullah s.a.w. bersabda:

“Tiada seharipun yang sekalian hamba berpagi-pagi pada hari itu, melainkan ada dua malaikat yang turun. Seorang di antara keduanya itu berkata: “Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menafkahkan itu akan gantinya,” sedang yang lainnya berkata: “Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan tidak suka menafkahkan hartanya itu kerusakan yakni hartanya menjadi habis.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Belanjakanlah hartamu, pasti engkau diberi nafkah harta oleh Tuhan.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Manakah di dalam Islam itu amalan yang terbaik?” Beliau s.a.w. bersabda:

“Engkau memberikan makanan serta mengucapkan salam kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang tidak engkau ketahui.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Ada empat puluh macam amalan dan setinggi-tingginya adalah meminjamkan kambing untuk diambil susunya.Tiada seorang yang mengamalkan dengan satu perkara daripada empat puluh macam perkara itu, melainkan Allah Ta’ala akan memasukkannya dalam syurga.” (Riwayat Bukhari)

Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan r.a. katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai anak Adam, sesungguhnya jikalau engkau memberikan apa-apa yang kelebihan padamu, sebenarnya hal itu adalah lebih baik untukmu dan jikalau engkau tahan tidak engkau berikan siapapun, maka hal itu adalah menjadikan keburukan untukmu. Engkau tidak akan tercela karena adanya kecukupan  maksudnya menurut syariat engkau tidak dianggap salah, jikalau kehidupanmu itu dalam keadaan yang cukup dan tidak berlebih- lebihan. Lagi pula mulailah  dalam membelanjakan nafkah kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Tangan yang bagian atas adalah lebih baik daripada tangan yang bagian bawah yakni yang memberi itu lebih baik daripada yang meminta.” (Riwayat Muslim)

Dari Anas r.a., katanya: “Tiada pernah Rasulullah s.a.w. itu diminta untuk kepentingan Islam, melainkan tentu memberikan pada yang memintanya itu. Niscayalah pernah ada seseorang lelaki datang kepada beliau s.a.w., kemudian beliau memberinya sekelompok kambing yang ada di antara dua gunung yakni karena banyaknya hingga seolah-olah memenuhi dataran yang ada di antara dua gunung. Orang itu lalu kembali kepada kaumnya kemudian berkata: “Hai kaumku, masuklah engkau semua dalam Agama Islam, sebab sesungguhnya Muhammad memberikan sesuatu pemberian sebagai seorang yang tidak takut akan kemiskinan.” Sekalipun orang lelaki itu masuk Islam dan tiada yang dikehendaki olehnya melainkan harta dunia, tetapi tidak lama kemudian Agama Islam itu baginya adalah lebih ia cintai daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya ini  yakni Islamnya amat baik dan sebenar-benarnya.” (Riwayat Muslim)

Dari Umar r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. membagikan suatu pembagian, lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, sebenarnya selain yang Tuan beri itulah yang lebih berhak daripada mereka yang Tuan beri itu.” Beliau lalu bersabda: “Sebenarnya mereka itu yakni yang diberi  memberikan pilihan kepadaku, apakah mereka itu meminta padaku dengan jalan yang tidak baik  seolah memaksa-maksa, kemudian saya memberikan sesuatu pada mereka ataukah mereka menyuruh saya untuk berlaku kikir, sedangkan saya ini bukanlah seorang yang kikir.” (Riwayat Muslim)

Dari Jubair bin Muth’im r.a. bahwasanyaia berkata,ia pada suatu ketika berjalan bersama Nabi s.a.w. ketika pulang dari peperangan Hunain, kemudian mulailah ada beberapa orang A’rab  penduduk pedalaman  meminta-minta kepada beliau, sehingga beliau itudipaksanyasampai kesebuah pohon samurah, lalu pohon tersebut menyambar selendangnya  yakni selendang beliau itu terikat oleh duri-durinya. Selanjutnya Nabi s.a.w. berdiri  sambil memegang kendali untanya  lalu bersabda: “Berikanlah padaku selendangku. Andaikata saya mempunyai ternak sebanyak hitungan duri-duri pohon ini, niscayalah semuanya itu akan saya bagikan kepadamu, selanjutnya engkau semua tidak akan menganggap saya sebagai seorang kikir, pendusta atau pengecut.” (Riwayat Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Tidaklah sesuatu pemberian sedekah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan seseorang akan sifat pengampunannya, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seseorang itu merendahkan diri karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan ia akan diangkat pula derajatnya oleh Allah ‘Azzawajalla. (Riwayat Muslim)

Dari Abu Kabsyah, yaitu Umar bin Sa’ad al-Anmari r.a. bahwasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Ada tiga perkara yang saya bersumpah atasnya dan saya memberitahukan kepadamu semua akan suatu Hadis, maka peliharalah itu: Tidaklah harta seseorang itu akan menjadi berkurang sebab disedekahkan, tidaklah seseorang hamba dianiaya dengan suatu penganiayaan dan ia bersabar dalam menderitanya, melainkan Allah menambahkan kemuliaan padanya, juga tidaklah seseorang hamba itu membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan,” atau sabda beliau s.a.w. merupakan kalimat lain yang senada dengan uraian di atas.

“Saya akan memberitahukan lagi kepadamu semua suatu Hadis maka peliharalah itu: Hanyasanya dunia ini untuk empat macam golongan orang yaitu: Seorang hamba yang dikarunia rezeki oleh Allah berupa harta dan ilmu pengetahuan, kemudian ia bertaqwa kepada Tuhannya dan mempererat hubungan kekeluargaan serta mengetahui pula haknya Allah dalamapa yang dimilikinya itu, maka ini adalah tingkat yang seutama-utamanya, juga seseorang hamba yang dikaruniai ilmu pengetahuan tetapi tidak dikaruniai harta, kemudian orang itu benar keniatannya, lalu ia berkata: “Andaikata saya mempunyai harta, niscaya saya akan melakukan sebagaimana yang dilakukan si Fulan itu  dalam hal kebaikan, maka orang tadi karena keniatannya tadi, pahalanya sama antara ia dengan orang yang akan dicontohnya.

Ada pula seseorang hamba yang dikarunia harta tetapi tidak dikarunia ilmu pengetahuan, kemudian ia menubruk  mempergunakan  hartanya dalam hal-hal yang tidak  dimakluminya secara awur-awuran  serta ia tidak pula bertaqwa kepada Tuhannya dan tidak suka mempereratkan tali kekeluargaannya, bahkan tidak pula mengetahui hal-hal Allah dalam hartanya itu, maka orang semacam ini adalah dalam tingkat yang seburuk-buruknya, juga seseorang hamba yang tidak dikarunia harta dan tidak pula ilmu pengetahuan, lalu ia berkata: “Andaikata saya mempunyai harta niscayalah saya akan melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh si Fulan – dalam hal keburukan, maka orang itu karena keniatannya adalah sama dosanya antara ia sendiri dengan orang yang akan dicontohnya itu.”Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya para sahabat sama menyembelih kambing – lalu mereka sedekahkan kecuali belikatnya, kemudian Nabi s.a.w. bertanya: “Bagian apakah yang tertinggal dari kambing itu?” Aisyah menjawab: “Tidak ada yang tertinggal daripadanya, melainkan belikatnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya semua anggotanya itu masih tertinggal, kecuali belikatnya yang ” Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis shahih.

Maknanya ialah supaya disedekahkanlah semuanya kecuali belikatnya, maka sabda beliau s.a.w. itu jelasnya ialah bahwa di akhirat semua itu masih tetap ada pahalanya – sebab disedekahkan – kecuali belikatnya yang tidak ada pahalanya  karena dimakan sendiri.

Dari Asma’ binti Abu Bakar as-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: “Jangan engkau menyimpan apa-apa yang ada di tanganmu, sebab kalau demikian maka Allah akan menyimpan terhadap dirimu yakni engkau tidak diberi rezeki lagi.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Nafkahkanlah, atau berikanlah atau sebarkanlah dan jangan engkau menghitung- hitungnya, sebab kalau demikian maka Allah akan menghitung-hitungkan karunia yang akan diberikan padamu. Jangan pula engkau mencegah menahan untuk memberikan sesuatu, sebab kalau demikian maka Allah akan mencegah pemberianNya padamu.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Perumpamaan orang kikir dan orang yang suka menafkahkan itu adalah seperti dua orang lelaki yang di tubuhnya ada dua buah baju kurung dari besi  masing-masing sebuah, antara dua susunya dengan tulang lehernya.

Adapun orang yang suka menafkahkan, maka tidaklah ia menafkahkan sesuatu, melainkan makin sempurnalah atau mencukupi seluruh kulitnya sampai-sampai menutupi tulang-tulangjari-jarinya, bahkan menutupi pula bekas-bekasnya  ketika berjalan.

Adapun orang kikir maka tidaklah ia menginginkan hendak menafkahkan sesuatu, melainkan makin melekatlah setiap kolongan itu pada tempatnya. Ia hendak meluaskan kolongan tadi, tetapi tidak dapat melebar.” (Muttafaq ‘alaih)

Aljubbah atau Addir’u artinya baju kurung. Artinya ialah bahwa seseorang yang suka membelanjakan itu setiap ia menafkahkan sesuatu, maka makin sempurna dan memanjanglah sehingga tertariklah pakaian yang dikenakannya itu sampai ke belakangnya, sehingga dapat menutupi kedua kaki serta bekas jalan dan langkah-langkahnya.

Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Barangsiapa bersedekah dengan sesuatu senilai sebiji buah kurma yang diperolehnya dari hasil kerja yang baik bukan haram dan memang Allah itu tidak akan menerima kecuali yang baik. Maka sesungguhnya Allah akan menerima sedekah orang itu dengan tangan kanannya sebagai kiasan kekuasaanNya, kemudian memperkembangkan pahala sedekah tersebut untuk orang yang melakukannya, sebagaimana seseorang dari engkau semua memperkembangkan anak kudanya sehingga menjadi seperti gunung  yakni memenuhi lembah gunung karena banyaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Alfaluwwu dengan fathahnya fa’ dan dhammahnya lam serta syaddahnya wawu, ada juga yang mengucapkan dengan kasrahnya fa’, sukunnya lam serta diringankannya wawu yakni wawunya tidak disyaddahkan  dan berbunyi Alfilwu, artinya anak kuda.

Keterangan:

Hadis di atas menurut uraian Imam al-Maziri diartikan sebagai perumpamaan yakni yang lazim berlaku di kalangan bangsa Arab. Misalnya dalam percakapan mereka sehari-hari untuk memudahkan pengertian. Jadi seperti sedekah yang benar-benar diterima oleh Allah, lalu dikatakan “diterima dengan tangan kanannya,” juga seperti perlipat gandaan pahala, dikatakan dengan “perawatan atau pemeliharaan yang sebaik-baiknya.”

Imam Termidzi berkata: “Para alim-ulama ahlus sunnah wal jama’ah berkata: “Kita semua mengimankan apapun yang terkandung dalam Hadis itu dan tidak perlu kita fahamkan sebagai perumpamaan, namun demikian kitapun tidak akan menanyakan dan tidak pula memperdalamkan: “Jadi bagaimana wujud sebenarnya?” Misalnya mengenai tangan kanan Tuhan, perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan olehNya dan Iain-Iain sebagainya.”

Dari Abu Hurairah r.a. pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Pada suatu kettka ada seorang lelaki berjalan di suatu tanah lapang – yang tidak berair, lalu ia mendengar suatu suara dalam awan: “Siramlah kebun si Fulan itu!” Kemudian menyingkirlah awan itu menuju ke tempat yang ditunjukkan, lalu menghabiskan airnya di atas tanah lapang berbatu hitam itu. Tiba-tiba sesuatu aliran air dari sekian banyak aliran airnya itu mengambil air hujan itu seluruhnya, kemudian orang tadi mengikuti aliran air tersebut. Sekonyong-konyong tampaklah olehnya seorang lelaki yang berdiri di kebunnya mengalirkan air itu dengan alat keruknya. Orang itu bertanya kepada pemilik kebun: “Hai hamba Allah, siapakah nama anda?” Ia menjawab: “Namaku Fulan,” dan nama ini cocok dengan nama yang didengar olehnya di awan Pemilik kebun bertanya: “Mengapa anda tanya nama saya?” Orang itu menjawab: “Sesung-guhnya saya tadi mendengar suatu suara di awan yang inilah airyang turun daripadanya. Suara itu berkata: “Siramlah kebun si Fulan itu! Nama itu sesuai benar dengan nama anda. Sebenarnya apakah yang anda lakukan?” Pemilik kebun menjawab: “Adapun anda menanyakan semacam ini, karena sesungguhnya saya selalu melihat – memperhatikan benar-benar  jumlah hasil yang keluar dari kebun ini. Kemudian saya bersedekah dengan sepertiganya, saya makan bersama keluarga saya yang sepertiganya dan saya kembalikan pada kebun ini yang sepertiganya pula untuk bibit-bibitnya.” (Riwayat Muslim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *