Hukum Penyembelihan Hewan dan Pemanfaatan Kulit dalam Konteks Ghanimah

Imam al-Syafi’i memberikan perhatian khusus pada tata cara kaum muslimin memperlakukan harta rampasan perang (ghanimah), termasuk hewan ternak yang didapatkan. Beliau menekankan pentingnya menjaga ketertiban dalam pemanfaatannya agar tidak keluar dari syariat. Dua poin utama yang beliau tegaskan adalah:

  1. Larangan menyembelih hewan hanya untuk kulitnya.
  2. Status kulit hewan yang didapat dari harta musuh sama dengan dinar dan dirham, sehingga tidak boleh dimanfaatkan sembarangan.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam mengatur secara detail etika pengelolaan sumber daya, termasuk hewan dan hasil ikutan seperti kulit.

قال الإمام الشافعي رحمه الله:
«أُحِبُّ أَنْ لَا يَزِيدُوا وَلَا يَنْقُصُوا، وَلَا يَكُونُوا فِي حَالٍ يُخَافُونَ فِيهَا أَوْ يُضْطَرُّونَ إِلَى تَرْكِ ذَبْحِ الْغَنَمِ وَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ إِلَّا لِلْأَكْلِ، وَلَا يَجُوزُ ذَبْحُهَا لِأَخْذِ الْجُلُودِ وَجَعْلِهَا نِعَالًا أَوْ أَوْعِيَةً. فَإِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَنَهَيْتُ عَنْ صُنْعِ شَيْءٍ مِنْ جُلُودِهَا.»

وقال:
«جُلُودُ الْبَهَائِمِ الَّتِي يَمْلِكُهَا الْعَدُوُّ كَالدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ، يُؤْذَنُ لَهُمْ فِي أَكْلِ لُحُومِهَا، وَلَا يَجُوزُ لَهُمْ ادِّخَارُ جُلُودِهَا، بَلْ تُرَدُّ إِلَى مَجْمَعِ الْغَنِيمَةِ. فَإِنْ أَفْسَدَهَا وَجَبَ عَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهَا، وَإِنِ انْتَفَعَ بِهَا ضَمِنَ حَتَّى يُرَدَّهَا.»

Dari perkataan Imam al-Syafi’i dapat dipahami beberapa hal penting:

  1. Tujuan utama penyembelihan hewan adalah konsumsi (dimakan).
    Tidak boleh menyembelih semata-mata untuk mendapatkan kulit, karena hal itu dianggap menyia-nyiakan nikmat Allah.
  2. Pemanfaatan kulit tanpa izin syar’i termasuk makruh.
    Imam Syafi’i menegaskan larangan keras menjadikan kulit sebagai bahan sandal, wadah, atau barang lainnya jika penyembelihan dilakukan hanya demi kulit.
  3. Kulit hewan musuh memiliki status harta ghanimah.
    Sama seperti dinar dan dirham, status kepemilikan kulit hewan tersebut harus melalui mekanisme ghanimah dan tidak boleh dimanfaatkan secara pribadi.
  4. Tanggung jawab atas kerusakan.
    Bila seseorang merusak atau memakai kulit tersebut tanpa izin, maka ia wajib mengganti kerugiannya sesuai nilai harta itu.

Beberapa dasar syariat yang mendukung pandangan Imam al-Syafi’i antara lain:

  1. Larangan menyia-nyiakan harta dan nikmat Allah
    Rasulullah ﷺ bersabda:

    «إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ»
    (HR. Bukhari dan Muslim)
    → Allah membenci menyia-nyiakan harta, termasuk hewan yang disembelih hanya demi kulit.

  2. Ketentuan tentang harta rampasan perang (ghanimah)
    Allah berfirman:

    وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ…
    (QS. al-Anfal: 41)
    → Segala sesuatu yang diperoleh dari ghanimah memiliki aturan distribusi tertentu, termasuk hewan dan kulitnya.

Imam al-Syafi’i menegaskan bahwa:

  1. Hewan dari harta rampasan perang hanya boleh disembelih untuk dimakan, bukan hanya demi kulitnya.
  2. Kulit hewan memiliki status ghanimah yang harus dikembalikan ke baitul mal, tidak boleh dimanfaatkan secara pribadi.
  3. Menyembelih hewan hanya untuk kulit hukumnya makruh, bahkan bisa mengarah pada perbuatan yang dilarang jika menyia-nyiakan nikmat Allah.
  4. Orang yang merusak atau mengambil manfaat dari kulit tanpa hak, wajib mengganti nilainya.

Dengan aturan ini, Imam al-Syafi’i mengajarkan etika pemanfaatan harta rampasan perang secara adil, terukur, dan tidak melanggar prinsip syariat.

Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *