Dalam khazanah fiqh Islam, para ulama tidak hanya membahas masalah ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa, tetapi juga menyentuh detail kehidupan sehari-hari, termasuk perkara makanan, minuman, dan obat-obatan. Salah satu ulama besar yang memberikan perhatian serius terhadap masalah ini adalah Imam al-Syafi’i.
Beliau memberikan klasifikasi penting antara makanan yang halal dikonsumsi dan obat-obatan yang meskipun bermanfaat, tidak masuk dalam kategori makanan yang boleh diperlakukan sebagaimana harta rampasan perang atau perdagangan.
Imam al-Syafi’i berkata:
قال الإمام الشافعي رحمه الله:
جميعُ الأدويةِ ليست من المأكولِ المباح، وكذلك الزنجبيلُ فإنه من جملة الأدوية، وأما العَلَيا فإنه من جملة المأكول. فما كان من المأكول جاز لمالكه أن يأكله ولا يجوز أن يخرجه من دار الحرب، وأما ما كان من جملة الأدوية فلا يجوز أخذه لا في دار الحرب ولا في غيرها.
Terjemahan
Imam al-Syafi’i berkata:
“Seluruh obat-obatan tidak termasuk dalam kategori makanan yang diizinkan. Seperti itu juga dengan jahe, yang masuk dalam kategori obat-obatan. Sedangkan alaya, itu adalah makanan yang dapat dimakan. Adapun sesuatu yang termasuk dalam kategori makanan, maka pemiliknya boleh memakannya, namun tidak boleh mengeluarkannya dari negeri musuh. Sedangkan yang masuk dalam kategori obat-obatan, maka tidak boleh diambilnya, baik di negeri musuh maupun di tempat yang lain.”
1. Perbedaan Makanan dan Obat-obatan
Imam al-Syafi’i menekankan bahwa makanan (al-ma’kul) adalah sesuatu yang dimakan untuk kebutuhan gizi dan keberlangsungan hidup. Sementara obat-obatan (al-adwiyah) adalah sesuatu yang digunakan untuk penyembuhan penyakit, bukan untuk kebutuhan pokok.
Contoh yang beliau berikan adalah:
- Jahe (الزنجبيل / al-zanjabīl) → masuk kategori obat-obatan, bukan makanan pokok.
- Alaya (العَلَيا) → sejenis makanan pokok (dalam riwayat disebut sejenis bahan pangan dari gandum atau kurma).
2. Hukum Mengambil dari Negeri Musuh (Dār al-Ḥarb)
Imam al-Syafi’i juga mengaitkan pembahasan ini dengan hukum mengambil barang dari negeri musuh dalam konteks peperangan:
- Jika barang itu makanan: pemilik boleh memakannya untuk kebutuhan hidup, tetapi tidak boleh membawanya keluar dari negeri musuh tanpa aturan syar’i.
- Jika barang itu obat-obatan: tidak boleh diambil sama sekali, baik di negeri musuh maupun di tempat lain.
Ini menunjukkan kehati-hatian Imam al-Syafi’i dalam masalah harta rampasan perang (ghanimah). Beliau memisahkan antara sesuatu yang boleh dimanfaatkan langsung (makanan untuk bertahan hidup) dan sesuatu yang bukan kebutuhan mendesak (obat-obatan).
3. Hikmah dari Pendapat Imam al-Syafi’i
- Islam mengajarkan aturan detail dalam mengambil hak orang lain, bahkan dari musuh sekalipun.
- Obat-obatan dianggap bukan kebutuhan mendesak untuk dimiliki secara bebas, karena sifatnya hanya untuk pengobatan, bukan konsumsi umum.
- Perbedaan klasifikasi ini juga menegaskan pentingnya disiplin dalam syariah, sehingga umat Islam tidak bertindak serampangan dalam kondisi perang.
4. Konteks Kontemporer
Dalam konteks modern, pendapat Imam al-Syafi’i ini bisa dijadikan rujukan etika dalam:
- Perdagangan obat-obatan: bahwa obat bukan sekadar komoditas bebas, melainkan memiliki nilai khusus dan harus diatur dengan ketat.
- Perang dan kemanusiaan: bahwa bahkan dalam kondisi perang, Islam tetap menjaga batasan etika dalam mengambil harta musuh.
Perkataan Imam al-Syafi’i tentang perbedaan makanan dan obat-obatan menunjukkan keluasan pandangan beliau dalam fiqh. Tidak hanya mengatur perkara ibadah, tetapi juga detail kehidupan sosial, perdagangan, bahkan etika peperangan.
Dengan klasifikasi yang jelas antara makanan dan obat-obatan, beliau menekankan pentingnya ketertiban hukum dan kepatuhan pada syariat dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam keadaan damai maupun perang.

