Dalam perjalanan sejarah Islam, Rasulullah ﷺ memberikan banyak teladan bagaimana seorang pemimpin umat mengatur strategi, termasuk soal siapa yang dapat diminta pertolongan dalam kondisi perang. Para ulama besar kemudian menguraikan hukum-hukum yang lahir dari praktik Nabi. Salah satunya adalah Imam Syafi’i, yang menjelaskan persoalan penting: Bolehkah seorang Muslim meminta bantuan orang non-Muslim dalam peperangan?
Imam Syafi’i berkata:
قال الإمام الشافعي رحمه الله:
«رُوِيَ عن مالكٍ كما رُوِيَ أن رسولَ الله ﷺ رَدَّ مُشْرِكًا أو مُشْرِكِينَ يوم بدر، ولم يُرِدِ الاستعانةَ إلا بالمسلمين. ثُمَّ استعان بعد بدر بسنتين يوم خيبر ببعض يهود بني قينقاع، واستعان في غزوة حُنين سنة ثمانٍ بسفيان بن أُميّة، وكان مشركًا. فلا بأس بالاستعانة بالمشركين على قتال المشركين إذا خرجوا طوعًا، ولا يُعطَون سهمًا من الغنيمة، إلا قليلًا، ولم يُثبَت أن رسول الله ﷺ أعطاهم سهمًا.»
Diriwayatkan oleh Malik sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah menolak seorang musyrik atau orang-orang musyrik pada perang Badar. Beliau tidak mau meminta pertolongan kecuali kepada orang Islam. Kemudian beliau meminta pertolongan sesudah dua tahun kemudian dari perang Badar, yaitu pada perang Khaibar kepada beberapa orang Yahudi dari bani Qainuqa’. Rasulullah meminta bantuan pada perang Hunain pada tahun ke-8 kepada Sufwan bin Umayah dan dia seorang musyrik. Tidaklah mengapa meminta pertolongan kepada orang-orang musyrik untuk memerangi kaum musyrikin lainnya, apabila mereka keluar dengan suka-rela. Mereka tidak diberi bagian harta rampasan (dari yang 5 bagian itu) kecuali sedikit sekali dan tidak ada bukti bahwa Rasulullah memberikan bagian kepada orang-orang musyrik.
Dari perkataan Imam Syafi’i di atas, terdapat beberapa poin penting yang patut dicatat:
- Perang Badar sebagai tolok ukur kemurnian pasukan Islam
Pada Perang Badar, Rasulullah ﷺ menolak bantuan dari orang-orang musyrik. Hal ini mengisyaratkan bahwa kekuatan inti kaum Muslimin haruslah mandiri dan kokoh dari dalam tubuh umat Islam sendiri. - Perubahan strategi pada Perang Khaibar
Dua tahun setelah Badar, pada Perang Khaibar, Rasulullah ﷺ bersedia menerima bantuan dari sebagian Yahudi Bani Qainuqa‘. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas strategi sesuai kebutuhan situasi dan maslahat umat. - Perang Hunain dan Sufwan bin Umayyah
Pada tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah ﷺ juga menerima bantuan dari Sufwan bin Umayyah, seorang musyrik. Ini menjadi dalil bahwa meminta bantuan orang non-Muslim dalam kondisi tertentu tidak terlarang, selama ada kejelasan posisi dan niatnya. - Tidak mendapat bagian rampasan perang
Imam Syafi’i menegaskan bahwa non-Muslim yang ikut berperang tidak diberi bagian dari harta ghanimah sebagaimana kaum Muslimin. Jika pun diberi, hanya dalam bentuk hadiah kecil, bukan bagian resmi.
Relevansi di Zaman Sekarang
Pandangan Imam Syafi’i ini memberi pelajaran penting bagi umat Islam:
- Pertama, Islam menekankan kemandirian umat dalam menjaga kedaulatan.
- Kedua, ada ruang kelonggaran untuk mengambil bantuan dari pihak luar jika maslahat menuntut.
- Ketiga, batasan jelas harus ditegakkan: mereka tidak boleh menguasai umat Islam, dan hak-hak kaum Muslimin tetap dijaga.
Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah sosok pemimpin yang bijak: beliau menolak saat kemandirian umat lebih penting, dan menerima saat maslahat menuntut kerja sama. Inilah keseimbangan antara prinsip dan strategi.

