Kucing dan Burung Shaqar (elang)

Perang dalam sejarah Islam bukan hanya soal pedang dan panji, tetapi juga tentang etika. Rasulullah ﷺ dan para ulama setelahnya menegakkan aturan yang menjaga martabat manusia bahkan di medan perang. Harta musuh tidak boleh dirampas secara serampangan; semuanya tunduk pada syariat.

قال الإمام الشافعي رحمه الله:
ما وُجِدَ من أموالِ العدوِّ من الطيرِ والنَّوَاقِحِ فهو غنيمةٌ، وإنْ وَجَدَ الكلبَ فَهُوَ غنيمةٌ. فإنِ اشْتَهاهُ أحدٌ ليَصطادَ بِهِ أو لرعيِ النَّعَامِ أو لحِراسةِ الزَّرعِ وكانَ ليسَ مِنَ الجيشِ فلا يُمسِكَهُ، ومنْ مَسَكَهُ بِغيرِ ذلك فَهُوَ مُذنبٌ. وإنْ وَجَدَ خِنزيراً فَأَمَرْتُ بِقَتْلِهِ.

Imam al-Syafi’i berkata:
“Apa yang kita temukan dari harta musuh yang berupa burung atau binatang ternak, maka itu adalah harta ghanimah. Jika yang ditemukan adalah anjing, maka itu juga menjadi ghanimah. Apabila seseorang menginginkannya untuk berburu, menggembalakan, atau menjaga tanaman, dan ia bukan bagian dari tentara, maka anjing itu tidak boleh ditahan. Barangsiapa menahannya tanpa tujuan-tujuan tersebut, maka ia berdosa. Dan jika yang ditemukan itu adalah babi, maka aku memerintahkan untuk membunuhnya.”

Menyelami Makna Ucapan Imam al-Syafi’i

1. Kucing dan Burung Elang: Hewan Berharga

Imam al-Syafi’i memasukkan hewan seperti kucing dan burung elang ke dalam kategori harta ghanimah. Bagi masyarakat Arab klasik, hewan-hewan ini memiliki nilai ekonomi: kucing menjaga dari tikus dan hama, sementara elang dipakai untuk berburu. Artinya, Islam memandang harta bukan hanya emas dan perak, tetapi juga hewan yang bermanfaat bagi kehidupan.

2. Anjing: Boleh, tapi Tidak untuk Main-main

Imam al-Syafi’i juga menyebutkan anjing. Ya, anjing bisa menjadi harta ghanimah—tetapi dengan catatan ketat. Ia hanya boleh dipelihara untuk berburu, menggembalakan hewan, atau menjaga tanaman. Jika ada orang yang menahannya sekadar untuk kesenangan atau tanpa tujuan jelas, maka ia berdosa. Ini adalah prinsip penting: syariat mengizinkan manfaat, tetapi melarang penyalahgunaan.

3. Babi: Harus Dimusnahkan

Lain halnya dengan babi. Imam al-Syafi’i memerintahkan agar babi yang ditemukan segera dibunuh. Alasannya jelas: babi adalah hewan yang diharamkan, najis, dan tidak boleh dijadikan komoditas. Dengan perintah ini, Imam menutup pintu kemungkinan babi diperdagangkan atau dimanfaatkan di tengah kaum Muslimin.

Ucapan Imam al-Syafi’i di atas bukan sekadar hukum fiqh kering, tetapi membawa pesan moral yang dalam:

  • Islam membatasi kerakusan manusia. Bahkan di medan perang, tidak semua barang boleh diambil. Ada aturan, ada adab.
  • Manfaat diutamakan. Hewan boleh dijadikan ghanimah hanya jika benar-benar berguna untuk kehidupan umat.
  • Pencegahan mudarat. Anjing dibatasi agar tidak berlebihan, babi dimusnahkan agar tidak menimbulkan kerusakan.

Relevansi untuk Zaman Sekarang

Mungkin ada yang bertanya: apa relevansi pendapat Imam al-Syafi’i ini di era modern?

Jawabannya jelas: aturan syariat selalu menekankan keseimbangan antara manfaat dan mudarat.

  • Dalam konteks perang modern, hukum ini bisa dimaknai sebagai etika perlakuan terhadap properti sipil dan sumber daya.
  • Dalam konteks masyarakat Muslim kini, prinsip Imam al-Syafi’i mengajarkan bahwa pemeliharaan hewan pun harus punya tujuan jelas, bukan sekadar tren atau gaya hidup.
  • Dalam konteks ekonomi halal, perintah beliau soal babi mengingatkan kita untuk menjaga kebersihan rantai pangan dari hal-hal yang diharamkan.

Imam al-Syafi’i bukan hanya seorang faqih, tetapi juga penjaga adab dalam syariat. Dari ucapan beliau tentang kucing, elang, anjing, dan babi, kita belajar bahwa hukum Islam tidak pernah memandang sepele urusan duniawi. Setiap benda, setiap hewan, bahkan setiap pilihan manusia—semua ada aturannya, ada etikanya, ada maslahat yang dijaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *