Jual-Beli Muzabanah

Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melarang jual-beli muzabbanah. Yang dimaksud dengan muzabanah adalah menjual secara barter, tamar dengan tamar, sama takarannya dan menjual karam (anggur) secara barter dengan zabib (anggur kering) yang sama takarannya.

Imam Syafi’i berkata: Muhaqalah pada tanaman sama dengan muzabanah pada buah tamar.

Imam Syafi’i berkata: Penafsiran tentang muhaqalah dan muzabanah pada hadits-hadits ini kemungkinan adalah bahwa hal tersebut berasal dari Rasulullah secara hash. Wallahu a ‘lam. Atau, mungkin pula hal itu merupakan suatu riwayat dari orang yang mempunyai posisi berada di bawah Rasulullah. Wallahu a ‘lam.

Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Juraij, bahwasanya ia berkata kepada Atha’, “Hai Atha’, apakah muzabanah itu?” Atha’ menjawab, “Muzabanah adalah tamar yang masih berada di pohon dibarter dengan tamar yang lain.” Kemudian saya bertanya lagi kepadanya, “Apakah Anda telah mengetahuitakaran tamar tersebut atau belum?” Atha’ menjawab, “Ya, saya telah mengetahuinya.” Ibnu Juraij berkata, “Lalu ada seseorang bertanya kepada Atha’, ‘Bagaimanakah dengan ruthabV” Atha’ menjawab, “Sebenamya sama saja tamar dengan ruthab. Yang itu tetap dinamakan muzabanah

Imam Syafi’i berkata: Maksud menghimpun muzabanah adalah, bahwa Anda melihat setiap jual-beli yang Anda lakukan dari apa yang berlebih pada sebagiannya atas sebagian yang lain dan dibayarkan tunai dianggap sebagai riba. Maka, tidak diperbolehkan melakukan jual-beli di dalam sesuatu yang diketahui takarannya dengan sesuatu yang lain dengan cara ditaksir yang tidak diketahui takarannya. Hal itu disebabkan haram hukumnya mengambil sesuatu kecuali yang sama takarannya, sama timbangannya, dan dilakukan secara langsung (dibayar tunai). Apabila jual-beli itu dilakukan dengan cara taksiran, maka salah satu di antara keduanya akan melebihi yang lainnya. Yang demikian itu diharamkan bagi kami, karena pada dasarnya keduanya harus sama dari segi takaran maupun timbangannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap akadjual-beli yang dilakukan dengan cara seperti di atas hukumnya adalah tidak sah.

Imam Syafi’i berkata: Jika keduanya melakukan jual-beli memakai cara taksiran dengan takaran atau taksiran dengan taksiran dari yang sejenis, lalu keduanya saling menakar dan sama jumlahnya, maka penjualan itu dibatalkan, karena hal tersebut merupakan akad jual-beli yang tidak diketahui ukuran takarannya.

Imam Syafi’i berkata: Jika saya membeli dari Anda 100 sha‘ tamar yang sejenis dengan 100 batang pohon kurma lebih banyak atau lebih sediki milik saya, maka jual-beli itu tidak sah dilihat dari dua sisi; salah satunya adalah, ruthab yang dibarter dengan tamar secara taksiran dengan takaran dari yang sejenis. Yang demikian itu dikarenakan saya mengambil tamar dari Anda dan saya tidak mengetahui takarannya. Pada prinsipnya kelebihan dari sebagian atas sebagian yang lain itu diharamkan, kecuali dengan yang sama, sejenis dan dibayar secara tunai.

Imam Syafi’i berkata: Demikianlah hukum atas gandum dan setiap sesuatu yang ada kelebihannya pada sebagian atas sebagian yang lain, atau yang disebut dengan riba.

Imam Syafi’i berkata: Adapun seseorang yang berkata kepada orang lain, sementara ia memiliki sejumlah tamar, “Saya menanggung untuk Anda sejumlah sesuatu yang ditukar dengan 20 sha’”. Apabila jumlah tersebut lebih dari 20 sha’, maka itu menjadi milik saya. Sebaliknya, apabila jumlah itu tepat 20 sha’, maka itu menjadi milik Anda. Apabila jumlah itu kurang dari 20 sha’, maka saya harus menyempurnakan 20 sha’ untuk Anda. Penjualan seperti di atas tidak sah dari sisi bahwasanya ia memakan harta dengan cara yang batil dan bukan dengan makna muzabanah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *