Imam Syafi’i berkata: Allah Ta ’ala berfirman, “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). ” (Qs. Al Baqarah (2): 283)
Imam Syafi’i berkata: Apabila harta yang digadaikan telah diserahterimakan satu kali, maka hal itu telah sempurna dan penerima gadai lebih berhak terhadapnya daripada para pemilik piutang. Tidak boleh bagi penggadai mengeluarkan harta itu dari status gadai hingga ia melunasi apa yang menjadi tanggungannya (utangnya).
Imam Syafi’i berkata: Harta yang digadaikan tidak dinamakan telah ‘diserah terimakan’ hingga harta itu diambil alih oleh penerima gadai atau seseorang (selain penggadai) atas perintah dari penerima gadai. Orang yang diperintah ini menjadi wakil bagi penerima gadai dalam perkara tersebut.
Jika seseorang melakukan transaksi gadai dengan orang lain, lalu penerima gadai mewakilkan kepada penggadai untuk mengambil alih barang yang digadaikan itu dari dirinya sendiri, maka yang demikian itu tidak dinamakan serah-terima. Tidak boleh seseorang menjadi wakil orang lain untuk berurusan dengan dirinya sendiri dalam hal serah-terima. Sama halnya apabila seseorang memiliki piutang pada orang lain, lalu ia mewakilkan kepada si pengutang untuk mengambil pembayaran dari dirinya sendiri dan si pengutang melakukannya, kemudian harta tadi rusak atau binasa, maka si pengutang tidak dianggap terlepas dari tanggungan utang sebagaimana ia terlepas apabila yang mengambil adalah wakil selain dirinya.
Seseorang tidak dapat menjadi wakil bagi orang lain untuk berurusan dengan dirinya sendiri dalam segala keadaan, kecuali pada saat ia menempati posisi sebagai wali bagi orang yang diwakili. Misalnya, seseorang yang :memiliki anak kecil, lalu ia membeli harta miliknya sendiri untuk anak itu dan sekaligus berperan sebagai wakil si anak dalam menerima harta yang dibeli. Atau, seseorang menghibahkan sesuatu kepada anaknya yang masih kecil dan sekaligus mewakili si anak menerima hibah tersebut.
Pada kasus ini serah-terima dianggap sah, karena si bapak dalam serah- terima tersebut menempati posisi anaknya. Demikian pula apabila si anak melakukan transaksi gadai dengan si bapak, lalu bapak mewakili anaknya untuk menerima harta yang digadaikan. Adapun jika si anak telah baligh dan tidak dilarang membelanjakan hartanya, maka tidak diperbolehkan bagi bapak mewakili anaknya pada kasus-kasus di atas, akan tetapi si anak harus menerima langsung atau mewakilkan kepada selain bapaknya