Dalam syariat Islam, kedewasaan (bulugh) menjadi penanda penting untuk berpindahnya seorang Muslim dari status anak-anak menuju mukallaf, yakni seorang yang dibebani kewajiban hukum. Dari titik inilah, seseorang mulai wajib menunaikan ibadah, menanggung kewajiban, dan bisa dikenakan hukuman (hudud). Imam Syafi’i رحمه الله menjelaskan hal ini dengan sangat tegas, berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Teks Perkataan Imam Syafi’i
قال الإمام الشافعي رحمه الله:
«أصلُ فَرْضِ الجهادِ والحدودِ على الرجالِ البالغينَ والفرائضِ على النساءِ البالغاتِ من المسلمينَ في كتابِ اللهِ وسنّةِ رسولِ الله ﷺ. فأمّا ما في كتابِ اللهِ فقوله تعالى: وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ فَلۡيَسۡتَٔذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَٔذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ (النور: ٥٩)، وقوله تعالى: وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ (النساء: ٦). وبلوغُ النكاحِ كمالُ خمسَ عشرةَ سنةً أو أقَلَّ قليلًا. فمن بلغَ ذلكَ وجبَت عليه التكاليفُ وثبتت عليه الحدودُ.»
وقال رحمه الله:
«والدليلُ من السنّةِ: أن رسولَ الله ﷺ ردَّ عبدَ اللهِ بنَ عمرَ يومَ بدرٍ، وكان له أربعَ عشرةَ سنةً، وأجازَه يومَ الخندقِ وله خمسَ عشرةَ سنةً. فمَن لم يتمَّ له خمسَ عشرةَ سنةً، ولم يحتلمْ قبلها، لم يجبْ عليه الجهادُ ولا الحدودُ.»
وقال رحمه الله:
«وأما بلوغُ المشركينَ الذينَ يُقتَلُ بالغُهم ويُترَكُ صغارُهم، فهو إنباتُ الشعرِ. فقد كَشَفَ رسولُ الله ﷺ عن أعرانِ بني قريظةَ، فقتلَ من أنبتَ الشعرَ، وسبى الذراريَّ. فكانت سنّتُه ﷺ ألّا يُقتَلَ إلا الذكورُ البالغونَ، فمن أنبتَ الشعرَ قُتِلَ، ومن لم يُنبتْ لم يُقتَلْ.»
Imam Syafi’i berkata: Asal diwajibkannya jihad dan hukum hudud atas kaum lelaki yang dewasa dan kewajiban-kewajiban bagi kaum wanita yang dewasa dari kaum muslimin itu dalam Kitabullah dan Sunnah. Adapun yang terdapat dalam Kitabullah adalah, “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orangorangyangsebelum mereka meminta izin…. ” (Qs. An-Nuur (24): 59) Firman Allah pula, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…. ” (Qs. An-Nisaa'(4): -6) Usia telah cukup umur untuk menikah itu adalah sempurna berumur 15 tahun atau kurang sedikit.
Dari penjelasan Imam Syafi’i, terdapat beberapa poin penting:
- Dalil dari Al-Qur’an
- QS. An-Nūr (24): 59 menunjukkan bahwa batas kedewasaan anak adalah ketika ia sudah mimpi basah (ihtilām).
- QS. An-Nisā’ (4): 6 menegaskan bahwa anak yatim baru bisa menerima harta bila sudah baligh dan memiliki kecerdasan.
- Dalil dari Sunnah
- Rasulullah ﷺ menolak keikutsertaan Abdullah bin Umar dalam Perang Badar saat berusia 14 tahun.
- Rasulullah ﷺ menerimanya di Perang Khandaq ketika usianya 15 tahun.
- Kedewasaan bagi non-Muslim dalam konteks perang
- Rasulullah ﷺ menyingkap laki-laki Bani Qurayzhah saat pengepungan.
- Yang sudah tumbuh bulu (kumis atau bulu lainnya) diperlakukan sebagai dewasa dan dihukum, sedangkan yang belum hanya ditawan.
Relevansi di Zaman Sekarang
Dari pandangan Imam Syafi’i, dapat dipahami bahwa:
- Usia baligh dalam Islam bukan semata angka administratif, tetapi juga tanda biologis dan kesiapan mental.
- Tanggung jawab hukum mulai berlaku setelah usia 15 tahun, atau lebih awal bila tanda kedewasaan sudah muncul.
- Keadilan dalam syariat tampak jelas: anak-anak tidak dibebani kewajiban jihad, tidak dihukum hudud, dan tidak boleh dibunuh dalam peperangan.
Di era modern, perdebatan tentang usia dewasa sering dikaitkan dengan hukum positif. Namun, Islam sejak awal telah memberikan tolok ukur yang jelas: kombinasi usia, tanda fisik, dan kecerdasan. Hal ini menunjukkan bahwa syariat sangat memperhatikan perkembangan manusia secara komprehensif.

