Dalam hukum keluarga Islam, terdapat dua istilah yang sering menjadi perbincangan: ilā’ dan zhihār. Keduanya merupakan bentuk sumpah atau ucapan yang berimplikasi pada hubungan suami-istri. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan pandangan menarik terkait bagaimana jika perkara ini terjadi pada pasangan non-Muslim (khususnya Nasrani) yang hidup dalam masyarakat Islam dan meminta keputusan hukum kepada hakim muslim.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i berkata:
إذا آلى النصراني من امرأته، ثم ترافعا إلينا بعد مضي أربعة أشهر، حكمنا عليه بما نحكم به على المسلم: إما أن يفيء أو يطلق. فإن فاء، أمرناه بالكفارة، ولا نلزمه بها؛ لأن ما كان من حقوق الله لا يسقط بالكفر.
وإن ظاهر النصراني من امرأته، فشكت إلى الحاكم ورضيا بحكمه، والظهار ليس بطلاق، حكمنا عليه بالكفارة، وأمرناه بها، ولا نلزمه.
Artinya:
“Apabila seorang Nasrani melakukan ilā’ terhadap istrinya, lalu keduanya meminta hukum kepada kita setelah berlalu empat bulan, maka kita tetapkan hukum sebagaimana hukum terhadap seorang muslim, yaitu antara ia kembali (rujuk) atau menceraikan. Jika ia kembali, maka kita perintahkan untuk membayar kafarat, tetapi kita tidak memaksanya, karena sesuatu yang merupakan hak Allah tidak gugur dengan sebab syirik. Apabila seorang Nasrani melakukan zhihār terhadap istrinya, lalu istrinya mengadukan kepada hakim dan keduanya ridha dengan keputusan hakim, maka karena zhihār bukanlah talak, kita tetapkan hukum dengan kafarat. Kita perintahkan orang Nasrani itu untuk memberi kafarat, tetapi tidak memaksanya.”
Analisis Hukum
-
Kasus Ilā’ (Sumpah Tidak Menggauli Istri)
-
Jika seorang Nasrani bersumpah tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan, maka hukum Islam mengharuskannya memilih antara rujuk atau menceraikan istrinya.
-
Jika ia memilih rujuk, maka ia diperintahkan membayar kafarat. Namun kafarat tidak bisa dipaksakan, karena ia merupakan hak Allah ﷻ, dan hak Allah tidak gugur dengan syirik.
-
-
Kasus Zhihār (Menganggap Istri Seperti Mahramnya Sendiri)
-
Jika seorang Nasrani mengucapkan zhihār, lalu istrinya membawa perkara ke hakim muslim dan mereka setuju berhukum dengan Islam, maka zhihār tidak dianggap talak.
-
Suami Nasrani tersebut diperintahkan membayar kafarat sebagaimana hukum zhihār pada muslim. Namun sekali lagi, kewajiban kafarat ini tidak bisa dipaksakan.
-
-
Prinsip Umum
-
Hukum-hukum keluarga yang terkait dengan hak manusia (huqūq al-‘ibād) bisa ditegakkan pada non-Muslim jika mereka rela berhukum dengan syariat Islam.
-
Adapun hukum yang menyangkut hak Allah murni (huqūq Allāh) seperti kafarat, tidak bisa dipaksakan kepada non-Muslim.
-
Dalil Al-Qur’an tentang Ilā’ dan Zhihār
-
Tentang ilā’:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Bagi orang-orang yang meng-ilā’ istrinya diberi tangguh empat bulan. Maka apabila mereka kembali (rujuk), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka memutuskan untuk menceraikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 226–227) -
Tentang zhihār:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan orang-orang yang men-zhihār istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum keduanya bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 3)
Kesimpulan
Pandangan Imam Asy-Syafi’i ini memberikan beberapa pelajaran penting:
-
Ilā’ dan zhihār berlaku bagi non-Muslim jika mereka ridha berhukum kepada syariat Islam.
-
Hak-hak manusia (istri) tetap dijaga dan ditegakkan, bahkan pada pasangan non-Muslim.
-
Kafarat sebagai hak Allah diperintahkan tetapi tidak bisa dipaksakan pada non-Muslim.
-
Syariat Islam memberikan keadilan universal, mengatur bukan hanya urusan umat Islam, tetapi juga memberi solusi hukum bagi non-Muslim yang memilih berhukum dengan syariat.
Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

