Hukum Harta para Pemberontak dan yang lainnya

Imam Syafi’i berkata: Apabila di suatu negeri kaum muslimin muncul pemberontak, maka pemimpin mereka dapat melaksanakan hukum had padanya dan harus betul-betul melaksanakannya demi Allah dan umat manusia, atau ia mengambil zakat-zakat kaum muslimin dengan sempurna, menambahkan dengan sesuatu yang ia ambil atas mereka atau sesuatu yang tidak wajib atas mereka. Lalu apabila muncul orang-orang adil di kalangan mereka, maka mereka tidak dapat kembali kepada apa yang telah dibatasi oleh pemimpin pemberontak dan tidak juga pada orang yang telah diambil zakat tahunannya.

Apabila mereka telah wajib mengeluarkan zakat, lalu mereka mengambil sebagiannya, maka imam orang-orang yang adil dapat mengambil dengan cukup apa yang tersisa, dan diperkirakan berapa yang sudah diambil oleh para pemberontak.

Apabila imam orang-orang adil menghendaki untuk mengambil zakal dari mereka, dan mereka mengaku bahwa pemimpin para pemberontak telah mengambil zakat dari mereka, maka mereka adalah orang-orang yang memegang amanat atas zakat mereka. Jika meragukan salah seorang dari mereka, maka ambillah sumpahnya.

Apabila orang yang meragukan tadi telah diambil sumpahnya, maka tidak diambil lagi zakat darinya. Jika para pemberontak itu berada dalam sebuah tempat yang rusak milik imam yang adil, dan mereka ditawan oleh orang-orang adil, maka mereka menjadi harta ghanimah; atau jika orang-orang adil itu berada di tempat yang buruk dan ditawan oleh para pemberontak, maka mereka menjadi harta ghanimah. Dua kelompok itu bersekutu selama mereka tidak berpisah, kecuali jika mereka menyerahkan seperlima dari harta ghanimah itu.

Imam adil itu lebih utama dengan yang demikian itu, karena dia melakukannya untuk kaum yang terpisah-pisah. Ia melakukannya untuk mereka, sebab hukum itu berlaku pada mereka, bukan untuk pemimpin para pemberontak, maka ia tidak boleh menahannya sebagaimana halalnya para pemberontak. Jika para pemberontak meminta pertolongan kepada kaum kafir harbi (kafir yang boleh diperangi) untuk memerangi orang-orang adil, dan orang-orang adil telah mengadakan perdamaian dengan mereka, maka boleh bag! imam orang-orang adil untuk memerangi dan menawan mereka, sehingga aman dari keberadaan mereka dan dapat mencegah gangguan mereka. Jika kaum harbi itu aman (tidak bereaksi) lalu mereka memerangi orang-orang adil, maka peperangan terhadap mereka dapat membatalkan perjanjian keamanan.

Imam Syafi’i berkata: Apabila orang adil membunuh seorang pemberontak dengan sengaja, dan pembunuh itu adalah ahli waris yang dibunuh, atau orang adil dibunuh oleh pemberontak dan dia itu adalah ahli warisnya, maka saya tidak berpendapat bahwa keduanya saling mewarisi dan Allah Yang Maha Tahu Keduanya diwarisi oleh para ahli waris keduanya, yang tidak membunuh.

Imam Syafi’i berkata: Jika pemberontak itu terbunuh dalam peperangan atau bukan dalam peperangan, maka ia boleh dishalatkan, karena shalat itu sunah bagi kaum muslimin; kecuali orang yang dibunuh itu orang musyrik, maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

Imam Syafi’i berkata: Apabila anak-anak dan kaum wanita yang termasuk pemberontak terbunuh, maka jenazah mereka boleh dishalatkan seperti menshalatkan orang dewasa.

Imam Syafi’i berkata: Pemberontak itu di luar dari yang dikatakan “halal darahnya secara mutlak”, kecuali ada pengecualian. Jika ia memberontak karena tidak mau mengikuti hukum atau ia berperang bersama orang-orang yang tidak mau mengikuti hukum, maka mereka diperangi agar tidak membunuh atau bersengketa, dan kembali atau menyerahkan haknya. Jika terjadi peperangan pada dirinya, maka tidak ada diyat dan qishash padanya. Kita diperbolehkan untuk memeranginya. Jika ia tidak mau berperang, mengasingkan diri, melukai, menawan atau menyakiti dengan tidak ada peperangan, maka ia tidak dibunuh karena hal-hal di atas, dan tidak dikatakan pada pemberontak sebagai orang yang halal darahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *