Keadaan di mana Darah Pemberontak Tidak Dibolehkan

Imam Syafi’i berkata: Apabila suatu kaum mengemukakan pendapat Khawarij dan menjauhkan diri dari manusia dan mengkafirkan mereka, maka kita tidak boleh memerangi mereka, karena mereka terlindung dengan sebab keimanan, dan mereka belum mencapai sesuatu yang karenanya Allah memerintahkan untuk memerangi mereka. Telah sampai kepada kami suatu kabar bahwa ketika Ali radhiyallahu anhu sedang berkhutbah, tiba-tiba dari sudut masjid terdengar seseorang meminta ditetapkan hukum (tahkim), “Tiada hukum kecuali bagi Allah. Maka Ali berkata, “Perkataan yang benar dikehendaki batil. Bagimu atas kami ada tiga perkara: kami tidak melarang kamu dari masjid-masjid Allah untuk berdzikir di dalamnya, kami tidak melarang kamu dari harta fai ’ karena apa yang ada ditangan kamu adalah bersama kami, dan kami tidak memulai peperangan kepadamu.”

Imam Syafi’i berkata: Udai menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, “Bahwa kaum Khawarij memaki-maki engkau.” Maka Umar bin Abdul Aziz membalas surat Udai dengan mengatakan, “Jika mereka memaki-maki aku, maka makilah mereka atau maafkan mereka. Jika mereka menggunakan senjata, maka gunakanlah senjata pula terhadap mereka; dan jika mereka memukul, maka pukullah mereka.”

Imam Syafi’i berkata: Apabila ada suatu kaum yang berada di kota besar atau di padang Sahara, mereka menumpahkan darah dan mengambil harta benda orang, maka hukuman mereka seperti hukuman perampok; baik mukabarah (saling mangalahkan) itu berada dalam kota atau di padang Sahara. Jika keduanya terpisah, maka mukabarah di kota itu lebih besar.

Imam Syafi’i berkata: Jika suatu kaum mengalahkan dan membunuh kaum lain tetapi tidak mengambil harta, maka diberikan hukuman pada apa yang mereka ambil. Demikian juga jika mereka tidak mau mematuhi hukum, mereka memperoleh darah dan harta tanpa ada penakwilan, lalu mereka dikuasai, maka diambil hak dari darah dan harta serta setiap apa yang mereka kerjakan dari hukuman had.

Imam Syafi’i berkata: Apabila suatu kaum menggunakan penakwilan, baik yang banyak atau sedikit yang mengasingkan diri dari manusia, maka wali orang-orang adil dapat menjalankan hukum pada mereka. Kemudian apabila mereka membunuhnya dan yang lainnya sebelum mereka mengangkat imam, lalu mereka mengakui dan memperlihatkan hukum yang berlainan dengan hukum imam, maka mereka harus dikenakan qishash.

Imam Syafi’i berkata: Apabila para pemberontak (Ahlu Baghi) dipanggil, lalu mereka menolak menjawab, maka mereka boleh diperangi. Jalan yang ditempuh untuk mereka berbeda dengan yang ditempuh orang-orang musyrik. Hal itu disebabkan bahwa Allah dan Rasul-Nya mengharamkan darah kaum muslimin, selain apa yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dibolehkan untuk memerangi para pemberontak, jika mereka mengobarkan peperangan. Mereka juga tidak diperangi selamanya kecuali jika mereka melawan, tidak mematuhi hukum dan menghendaki perang. Jika makna-makna ini hilang, maka mereka telah keluar dari keadaan yang diperbolehkan baginya untuk diperangi. Mereka tidak keluar dari keadaan itu selama-lamanya, kecuali darah mereka diharamkan, sebagaimana sebelum mereka berbuat yang demikian. Yang demikian itu jelas bagi saya dan terdapat dalam Kitabullah. Allah berfirman, “Perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah;jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. ” (Qs. Al Hujuraat (49): 9)

Imam Syafi’i berkata: Apabila wanita atau budak ikut berperang bersama pemberontak, demikian juga dengan anak yang mendekati dewasa, maka mereka seperti orang-orang yang berperang dalam menghadapinya dan meninggalkannya dengan memalingkan muka. Mengenai tawanan mereka, ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Jika lelaki dewasa ditawan, maka ia ditahan untuk melakukan baiat. Yang saya harapkan mereka tidak terlalu dikurung. Sedangkan budak dan anak-anak yang belum dewasa dari lelaki merdeka, mereka tidak ditahan. Demikian juga wanita, mereka tidak diperintah untuk membaiat. Wanita diperintahkan membaiat sebagai pengikut agama Islam. Adapun untuk menaati imam, maka kaum wanita tidak harus berjihad.

Apabila peperangan telah usai, maka saya tidak berpendapat bahwa tawanan mereka itu ditahan. Apabila para pemberontak itu berkata, “Perhatikanlah kami! Kami memperhatikan urusan kami”, maka saya melihat tidaklah mengapa memperhatikan mereka. Jika mereka berkata, “Perhatikanlah kami pada masa tertentu”, maka saya berpendapat bahwa imam hendaknya berijtihad dalam masalah ini. Jika imam mengharap mereka kembali, maka saya menyukai agar ia bersikap lemah lembut terhadap mereka. Jika tidakmengharap demikian, maka ia harus memerangi mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *