Hal-Hal Yang dapat Menyucikan Tanah

Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang Arab badui masuk ke masjid lalu berdoa, “Ya Allah, anugerahkanlah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad, dan jangan engkau rahmati salah seorang pun selain kami.” Lalu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh engkau telah membatasi tempat yang luas.”
Abu Hurairah meneruskan: Lalu orang Arab badui itu membuang air kecil di sudut masjid. Para sahabat seakan-akan ingin bertindak terh  adap orang Arab badui itu, namun mereka dilarang oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan agar didatangkan beberapa ember atau timba besar yang penuh dengan air untuk dituangkan ke atas tempat kencing itu, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ajarkanlah dan mudahkan, jangan kalian mempersulit”
Imam Syafi’i berkata: Diriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata, “Seorang Arab badui membuang air kecil di dalam masjid. Seketika itu juga banyak orang hendak bertindak terhadap orang Arab badui itu, namun Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka dan bersabda, “Tuangkanlah seember air.”
Imam Syafl’i berkata: Apabila seseorang buang air kecil di atas tanah yang basah atau kering dan air kencing itu diserap oleh tanah, kemudian dituangkan air di atasnya hingga menggenanginya, lalu air kencing itu ikut terserap ke dalam tanah sementara air mengalir di atasnya sehingga wujud, wama dan baunya hilang, maka tanah tersebut dianggap telah suci. Sekurang-kurangnya kadar air yang dituangkan itu ialah yang dapat dimaklumi, yaitu satu ember besar untuk ukuran kencing seorang laki-laki. Namun apabila lebih dan itu, maka air itu akan berlipat ganda banyaknya dan kencing tersebut.
Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang membuang air kecil di atas air kencing orang lain, maka tempat itu tidak dapat disucikan kecuali dengan air sebanyak dua ember. Jika dua orang kencingpada tempat kencing orang yangpertama, maka tempat itu tidak dapat disucikan selain dengan tiga ember air. Namun apabila jumlah mereka lebih banyak, maka tempat tersebut tidak dapat disucikan selain dengan menuangkan air pada setiap tempat kencing, untuk satu orang dengan satu ember besar.
Apabila terdapat khamer (arak) pada posisi air kencing, maka menyucikannya dapat dilakukan dengan dituangkan air padanya sebagaimana halnya menuangkan air pada tempat air kencing dengan tidak ada perbedaan kadar air di antara keduanya. Sehingga apabila telah hilang wama dan baunya dari debu, maka debu yang mencampurinya dianggap suci.
Namun apabila wamanya hilang sementara baunya tidak, maka dalam hal ini ada dua pendapat,
Pertama, tanah itu tidak suci sampai baunya ikut hilang.
Kedua, apabila telah dituangkan air padanya dengan kadar yang dianggap telah dapat menyucikannya sehingga wamanya hilang, maka tanah itu dianggap telah suci.
Apabila kadar khamer yang dituang di atas tanah itu banyak, maka kadar air yang dituangkan padanya seperti ketika menuangkan air di atas kencing, sebagaimana yang telah saya uraikan. Jika ada bangkai di atas permukaan tanah, lalu mengalir sesuatu darinya, maka cara menyucikannya adalah dengan menghilangkan jasadnya dan menuangkan air pada tempat mengalimya sesuatu dari bangkai itu, sebagaimana ketika menuangkan air pada air kencing dan arak. Hendaknya pula dituangkan air padanya sehingga wama, wujud dan baunya hilang.
Imam Syafi’i berkata: Apabila dituangkan benda cair di atas tanah seperti air kencing, khamer, nanah dan yang sejenisnya, kemudian bekas wama dan baunya hilang baik terkena sinar matahari atau tidak, maka ia sama saja yaitu tidak dianggap suci selain dengan menuangkan air kepadanya.
Apabila hujan turun dan diketahui bahwa air hujan yang mengenai tempat kencing tersebut lebih banyak dan yang saya terangkan terdahulu, maka air hujan itulah yang menyucikannya.
Apabila dituangkan najis ke atas tanah seperti air kencing lalu tempat itu segera digali sehingga tidak tertinggal lagi sedikit pun tanah yang basah, maka seluruh najis itu dianggap hilang dan ia telah suci tanpa disiram dengan air.
Imam Syafi’i berkata: Adapun semua najis yang berwujud seperti bangkai, tahi, darah serta yang menyerupainya, maka cara mensucikannya yaitu dengan menghilangkan benda-benda najis itu dari tempatnya, kemudian menuangkan air pada tempat yang basah jika ada, seperti halnya menuangkan pada air kencing dan khamer.
Apabila jasad berbaur dengan tanah sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya, seperti kuburan, maka tidak dikerjakan shalat padanya dan tidak pula dianggap suci, karena tanah itu tidak dapat dibedakan lagi; mana yang bercampur dengan hal-hal haram dan mana yang tidak.
Apabila bangkai menghilang dari tanah dan debu menutupinya, namun debu yang menutupinya itu tidak dibasahi (dalam keadaan kering), maka jika tanahnya menjadi basah akibat bangkai tersebut saya memandang makruh shalat di tempat itu. Namun apabila seseorang terlanjur shalat di tempat itu, maka saya tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *