Imam Syafi’i berkata: Allah SWT berfirman, “Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. ” (Qs. Al Baqarah (2): 196)
Imam Syafi’i berkata: Ayat Al Qur’an di atas menunjukkan bahwa puasa tersebut dilakukan ketika melaksanakan ibadah haji, dan ini dipahami bahwa puasa tersebut tidak boleh dilakukan sebelum seseorang memasuki ihram hajinya. Jadi,tidak boleh dilakukan sebelum memasuki ihram, walaupun sudah berada dibulan-bulan haji.
Imam Syafi’i berkata: Menurut ayat di atas (Qs. Al Baqarah (2): 196), seseorang yang berihram haji pada bulan Syawal, Dzulqa’dah atau Dzulhijjah, boleh melakukan puasa tersebut (puasa kifarat) pada saat ia telah memulai ihramnya, namun tidak keluar dari ihram haji sebelum melakukan puasa tersebut, apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban. Hendaklah diusahakan agar puasanya tidak melampaui hari Arafah (9 Dzulhijjah). Apabila puasa terakhirnya jatuh pada hari Arafah, maka ia bisa keluar dari ihram hajinya sehari setelah itu, yaitu pada hari dimana seseorang tidak diperbolehkan berpuasa yakni hari nahar (hari raya kurban-10 Dzulhijjah). Diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa orang yang melakukan haji Tamattu’ dan tidak mendapatkan hewan kurban, dan dia belum melakukan puasa padahal sudah lewat hari Arafah, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari Mina (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang melakukan ihram haji Tamattu’, kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan ihram atau sesudahnya dan belum berpuasa kifarat, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, ia wajib membayar dam Tamattu’ (dibayarkan oleh keluarganya) karena hal itu merupakan utang yang wajib ia bayar, dan halitu disebabkan karena ia belum melakukan puasa kifarat. Tidak boleh bagi siapapun berpuasa mewakili dirinya. Pendapat ini ada kemungkinan benar. kedua, ia tidak wajib membayar dam (keluarganya tidak wajib membayarkan dam untuknya) dan juga tidak ada puasa untuk dirinya, karena seseorang diwajibkan berpuasa kifarat apabila dirinya tidak mampu mendapatkan hewan kurban (sedangkan dalam kasus ini tidak demikian halnya).
Apabila sebelum meninggal ia mempunyai waktu untuk bepuasa tapi ia menyepelekan kewajiban puasa tersebut, maka dalam hal ini keluarganya harus bershadaqah mewakili dirinya sebanyak 3 mud gandum (makanan pokok) sebagai ganti dari puasa 3 hari. Untuk puasa yang 7 hari tidak wajib bagi dirinya, karena pada saat meninggal dia belum pulang ke negerinya. Apabila dia meninggal setelah pulang ke negerinya dan pada saat itu dia belum melaksanakan puasa yang 3 hari dan juga belum melaksanakan puasa yang 7 hari, maka dalam hal ini keluarganya harus bershadaqah mewakili dirinya untuk mengganti puasa yang 10 hari itu, dengan syarat sebelum meninggal dia mempunyai kesempatan untuk berpuasa yang 7 hari itu. Apabila ia hanya mempunyai kesempatan berpuasa selama 5 hari, maka shadaqah yang dikeluarkan hanya untuk mengganti puasa yang 5 haritersebut, dan begitu seterusnya, Wallahu a ’lam.
Imam Syafi’i berkata: Menurut saya, hari-hari Mina itu (tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah) sudah berada diluar waktu-waktu haji, dimana pada hari itu apabila seseorang telah thawaf di Baitullah, maka dia telah ber-tahallul dan boleh bersetubuh dengan istrinya Saya tidak berani mengatakan bahwa hari-hari Mina ini termasuk hari haji, tapi justru hari-hari tersebut sudah berada di luar hari haji walaupun seseorang masih mempunyai amalan-amalan haji yang belum dia laksanakan.