Imam Syafi’i dalam banyak fatwanya memberikan perhatian terhadap hukum harta rampasan perang (ghanimah) dan segala sesuatu yang berada di negeri musuh. Termasuk di dalamnya adalah aktivitas jual beli makanan yang dilakukan oleh sesama kaum muslimin di wilayah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa transaksi semacam ini memiliki kedudukan yang berbeda dengan penjualan kepada orang-orang yang tidak berhak, karena kedua belah pihak masih berada dalam koridor yang diperbolehkan syariat.
الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ قَالَ: “إِذَا تَبَايَعَ رَجُلَانِ طَعَامًا فِي بِلَادِ الْعَدُوِّ فَالْقِيَاسُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ، لِأَنَّهُ فَعَلَ شَيْئًا مُبَاحًا بِمُبَاحٍ.”
Artinya:
Imam Syafi’i berkata: “Jika dua orang berjual-beli makanan di negeri musuh, maka menurut qiyas (analogi) hal itu tidaklah mengapa, karena ia melakukan sesuatu yang diperbolehkan dengan yang diperbolehkan.”
-
Konteks Transaksi – Imam Syafi’i membedakan antara jual beli dengan orang yang berhak (sesama muslim) dan dengan orang yang tidak berhak (kafir harbi). Dalam kasus ini, kedua pihak adalah kaum muslimin sehingga transaksi tetap sah.
-
Dasar Qiyas – Beliau menggunakan metode qiyas, yaitu analogi hukum, dengan mempertimbangkan bahwa makanan adalah barang yang mubah dimiliki, dan akad jual beli adalah akad yang sah. Maka tidak ada larangan.
-
Batasan Hukum – Transaksi ini tetap harus dalam koridor syariat. Artinya, makanan yang diperjualbelikan adalah makanan yang halal dan tidak termasuk harta yang wajib diserahkan lebih dulu kepada imam untuk dibagi.
-
Prinsip Syariah – Selama jual beli dilakukan dengan barang halal dan antara orang-orang yang memiliki hak, maka tidak ada celaan syar’i.
Allah SWT berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
(Al-Baqarah: 275)
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Hadits Nabi ﷺ juga menegaskan:
“إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ”
(HR. Ibnu Majah)
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu (sah) dengan saling ridha.”
Kedua dalil ini memperkuat kaidah bahwa asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Fatwa Imam Syafi’i ini menunjukkan keluwesan fiqh dalam mengatur aktivitas ekonomi, bahkan di tengah kondisi perang. Jual beli makanan antara sesama kaum muslimin di negeri musuh tetap diperbolehkan, karena transaksi itu melibatkan sesuatu yang mubah dengan sesuatu yang mubah. Prinsip dasar yang dijaga adalah kehalalan barang, keabsahan akad, dan keterjagaan hak kaum muslimin.

