Apabila menjenguk orang sakit itu wajib atau sunnah bagi keluarganya, tetangganya, dan teman-temannya, maka sebaiknya berapa kalikah hal itu dilakukan? Dan berapa lama waktu menjenguk itu?
Dalam hal ini, saya yakin bahwa hal itu diserahkan kepada kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, dan seberapa jauhnya hubungan yang bersangkutan dengan sisakit.
Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu kewaktu, dalam hal ini tidak terdapat batas waktu yang tertentu.
Sebagian ulama mengatakan, “Hendaknya menjenguk orang sakit itu dilakukan secara berkala, jangan setiap hari, kecuali bagi yang sudah terbiasa.”Sebagian lagi mengatakan, “Seminggu sekali.”
Imam Nawawi mengomentari hal ini sebagai berikut:
“Ini bagi orang lain. Adapun bagi kerabat sisa kita tau teman-temannya dan lainnya, yang kedatangannya menenangkan dan menggembirakan hati si sakit, atau menjadikan si sakit rindu kepadanya jika tidak melihatnya setiap hari, maka hendaklah orang itu selalu menjenguknya asalkan tidak dilarang, atau ia tahu bahwa si sakit sudah tidak menyukai hal itu.
Selain itu, tidak disukai duduk berlama-lama ketika menjenguk orang sakit, karena hal demikian dapat menyebabkan si sakit merasa jenuh, merasa repot, dan merasa kurang bebas untuk berbuat sesuatu.”25
Namun begitu, hal ini tidak berlaku bagi setiap pengunjung, karena ada kalanya si sakit menyukai orang-orang tertentu untuk berlama-lama berada di sisinya khususnya bagi orang yang telah lama sakit dan kunjungan orang tersebut menyenangkan dan meringankannya, apalagi jika si sakit itu sendiri yang memintanya.
Al-Hafizh berkata, “Adab menjenguk orang sakit ada sepuluh, di antaranya ada yang tidak khusus untuk menjenguk orang sakit;
Jangan meminta izin masuk dari depan pintu (tengah-tengah).
Jangan mengetuk pintu terlalu pelan.
Jangan menyebutkan identitas diri secara tidak jelas, misalnya dengan mengatakan “saya,” tanpa menyebut namanya.
Jangan berkunjung pada waktu yang tidak layak untuk berkunjung, seperti pada waktu si sakit minum obat, atau waktu mengganti pembalut luka, waktu tidur, atau waktu istirahat.
Jangan terlalu lama (kecuali bagi orang yang mempunyai hubungan khusus dengan si sakit seperti yang saya sebutkan di atas).
Menundukkan pandangan (apabila di tempat itu terdapat wanita yang bukan mahramnya).
Jangan B anyakbertanya, dan hendaklah menampakkan rasa belas kasihan.
Mendoakannya dengan ikhlas.
Menimbulkan optimism kepada si sakit.
Menganjurkannya berlaku sabar, karena sabar itu besar pahalanya, dan melarangnya berkeluh kesah, karena berkeluh-kesah itu dosa.”26
Sebagian adab-adab tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.
Cara menjenguk orang sakit yang jauh tempatnya yang memang mempunyai hak untuk dijenguk ialah dengan menanyakan keadaannya melalu itelepon, bagi orang yang punya pesawat telepon, maupun lewat telegram atausurat. Lebih-lebih jika si sakit baru saja menjalani operasi dengan selamat.
Saya masih ingat ketika saya ditakdirkan menjalani operasi tulang rawan di Bonn, Jerman, pada musim panas tahun 1985, dan ketika saya melewati masa perawatan sebagaimana biasanya, betapa telepon selalu bordering dari saudara-saudara di Dauhah, Kairo, Eropa, dan Amerika, yang menanyakan keadaan saya dan mendoakansaya. Hal ini ternyata mempunyai pengaruh yang baik dalam hati saya, meringankan penderitaan, dan mempercepat kesembuhan.
21 Al-Bukhari dalamFathul-Barin, hadits, nomor 5657. ^
22 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 119 ^
23 Syarhus-Sunnah, terbitan al-Maktab al-Islami, dengantahqiqSyu’aib al-Arnauth, juz 5, hlm.211-212. ^
24 Al-Majmu’, kalya an-Nawawi, juz 5.hlm. 111-112. ^
25 Ibid.,hlm. 112. ^
26 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 126, “Bab Qaulil-Maridh: ‘Quumuu ‘Annii’.” ^