Ada seorang publik figur, sebut saja AA, yang menyatakan bahwa seorang penghafal al Qur’an tidak bisa diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui Jalur Khusus. Karena, kemampuan mereka tidak ada korelasinya dengan kemampuan akademik maupun integritas moral seseorang. Untuk itu, PTN tidak sepantasnya menerima para penghafal al Qur’an, tanpa melalui proses ujian pada umumnya.
Hal ini diamini oleh DS. Beliau menyatakan bahwa itu adalah kebijakan diskriminatif, hanya untuk 1 agama saja. Bahkan menganggap bahwa Penghafal Al-Qur’an adalah sumber-sumber radikalisme di berbagai kampus negeri.
Untuk itulah, kami mempersilahkan juga bagi PTN untuk membuka jalur khusus bagi Penghafal Injil, Tripitaka, Weda, dan beberapa kitab suci agama lain.
Namun, tuduhan bahwa seorang penghafal al Qur’an tidak memiliki kemampuan akademik dan integritas moral yang cukup, itulah yang akan kami jawab. Apalagi dituduh sebagai akar radikalisme.
Saya pribadi memaklumi pemikiran beliau berdua, karena memang beliau “mungkin” belum merasakan Proses Pendidikan Agama. Pengalaman kami dalam proses menghafal dan mengelola lembaga Pendidikan Al-Qur’an, akan berbanding terbalik dengan pemikiran beliau. Berikut faktanya:
1. Sebelum proses menghafal, santri dituntut untuk berlatih membaca al-Qur’an secara tepat dan benar. Dengan memperhatikan Makharijul Huruf, Sifatul Huruf, dan Hukum Tajwid lainnya, yang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Butuh kejelian, ketelitian, dan pembiasaan yang berkala.
2. Mereka juga diminta untuk menghafalkan seluruh kosakata al-Qur’an serta mempelajari susunan kata dan kalimat al-Qur’an. Melihat persamaan dan mencermati perbedaan penggunaan katanya, serta memahami maksudnya.
3. Al Qur’an terdiri dari 604 halaman, hampir sama dengan jumlah halaman disertasi. Memiliki 114 surat, 6.236 ayat, 77.449 kata, dan 320.015 huruf. Banyak kata yang diulang, ada yang jumlahnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Bagaimana membedakan itu semua?
4. Santri penghafalan al-Qur’an menjalani Ujian Lisan setiap hari. Bahkan sehari, minimal 2 kali. Mereka mengulang hafalan yang telah lalu (Muroja’ah), minimal 10 halaman dan menambah hafalan baru (Ziyadah), dan diujian minimal 6 halaman per hari.
5. Dalam proses ujian tersebut, santri dalam kondisi suci, tenang dan siap diperbaiki. Tidak akan pernah protes ataupun mendebat. Tunduk dan patuh kepada penguji.
6. Santri penghafal al Qur’an biasa tepat waktu. Minimal dalam melaksanakan sholat lima waktu. Mereka juga menarget diri mereka sendiri dalam proses menghafalkan al-Qur’an.
7. Di lembaga yang kami kelola, santri bebas menggunakan gadget, baik HP maupun Laptop. Hafalan merekalah sebagai remnya. Jadi, taka da kata GagapTeknologi (Gaptek)
8. Kantin di lembaga kami pun tidak ada penjaganya, mereka bebas mengambil, membayar, ataupun mengambil kembalian. Tiap bulan pasti untung, tak pernah rugi.
9. Begitupula di ruang makan. Jatah makan harian, mereka ambil sendiri, tanpa ada yang mengambilkan ataupun pengurus yang mengawasi. Meskipun demikian, tidak pernah kekurangan, baik nasi, lauk, maupun sayurnya.
10. Di lembaga kami juga tidak ada piket kebersihan, dan juga tidak memiliki petugas kebersihan. Alhamdulillah, selalu bersih dan suci.
11. Melalui al Qur’anlah, dunia ini diwarnai oleh tokoh-tokoh Ilmuan yang karyanya masih digunakan hingga saat ini, sebut saja Al-Biruni ahli fisika dan kedokteran, Al-Razi ahli kimia, Al-Khawarizmi ahli matematika, Ibnu Haitsam ahli optik, serta nama-nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Farabi, Ibnu Khaldun, Al-Kindi, Ibnu Batutah, dan Ibnu Rusyd.
Apakah sekelumit fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa Santri Penghafal Al-Qur’an tidak memiliki Korelasi dengan kemampuan Akademik dan Integritas Sosialnya?
********************
Ditulis oleh: Ahmad Ghozali Fadli
Pelayan Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur
Semoga Bertambah Penghafal Al qur’an
Penghafal Al qur’an adalah Penerus ilmu kenabian