Bab I Bayan
Bayan adalah istilah yang mencakup berbagai makna yang memiliki kesamaan pokok tetapi beragam cabangnya. Setidaknya yang dimaksud dengan makna-makna yang sama pokoknya tetapi beragam cabangnya itu adalah penjelasan kepada mitra bicara yang Al Qur’an turun dengan menggunakan bahasanya. Bagi mitra bicara yang memahami bahasa Arab ini, penjelasan tersebut sangat berdekatan (tidak kontradiksi), meskipun sebagiannya lebih kuat dalam menegaskan penjelasan daripada sebagian yang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak memahami bahasa Arab, penjelasan ini terlihat kontradiktif.
Intinya, apa yang dijelaskan Allah kepada manusia di dalam kitab-Nya mengambil beberapa bentuk:
1.Apa yang dijelaskan Allah kepada manusia secara nash, seperti sejumlah ketetapan-Nya bahwa mereka wajib shalat, zakat haji dan puasa. Juga ketetapan Allah tentang perkara-perkara keji, baik lahir maupun batin, meredaksikan keharaman zina,4 khamer, makan bangkai, darah dan daging babi, menjelaskan kepada mereka cara melaksanakan fardhu wudhu, serta hal-hal lain yang dijelaskan-Nya dalam bentuk nash.
2.Apa yang ditetapkan kewajibannya dengan kitab-Nya dan dijelaskan tata caranya melalui lisan Nabi-Nya, seperti jumlah rakaat shalat, zakat dan waktunya, serta kewajiban-kewajiban lain yang diturunkan Allah melalui kitab-Nya.
3.Apa yang ditetapkan Rasulullah SAW namun tidak ada nash hukum dari Allah di dalam Al Qur’an. Di dalam Al Qur’an Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah SAW dan mengikuti hukumnya. Barangsiapa menerima suatu hukum dari Allah, maka pada hakikatnya ia menerima dari Allah.
4.Apa yang Allah wajibkan kepada manusia untuk berijtihad dalam mencarinya, serta menguji ketaatan mereka dalam berijtihad, sebagaimana Allah menguji ketaatan mereka dalam perkara lain yang juga diwajibkan Allah kepada mereka, karena Allah SWT berfirman:
وَلَـنَبۡلُوَنَّكُمۡ حَتّٰى نَعۡلَمَ الۡمُجٰهِدِيۡنَ مِنۡكُمۡ وَالصّٰبِرِيۡنَ ۙ وَنَبۡلُوَا۟ اَخۡبَارَكُمۡ
dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. (QS. Muhammad [47]: 31)
وَلِيَبْتَلِيَ اللّٰهُ مَا فِيْ صُدُوْرِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِيْ قُلُوْبِكُمْ
dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati. (QS. Ali Imran [3]: 154)
قَالَ عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یُّہۡلِکَ عَدُوَّکُمۡ وَ یَسۡتَخۡلِفَکُمۡ فِی الۡاَرۡضِ فَیَنۡظُرَ کَیۡفَ تَعۡمَلُوۡنَ
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu. (QS. Al A’raf [7]: 129)
Allah mengarahkan kiblat mereka ke Masjidil Haram, lalu berfirman kepada Nabi-Nya:
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ
sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 144)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۙ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu. (QS. Al-Baqarah [2]: 150).
Saat mereka tidak menyaksikan Masjidil Haram, maka Allah menunjukkan mereka kepada ijtihad yang benar yang diwajibkan atas mereka, yaitu ijtihad dengan akal yang disematkan Allah dalam diri mereka, serta yang membedakan antar segala sesuatu dan kontradiksinya. Juga dengan berbagai tanda yang dibentangkan Allah di depan mereka, sehingga mereka tidak harus melihat Masjidil Haram yang diperintahkan Allah untuk menghadap ke arahnya.
Allah SWT berfirman:
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ النُّجُوْمَ لِتَهْتَدُوْا بِهَا فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ
dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. (QS. Al-An’am [6]: 97)
وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ
dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 16)
tanda-tanda itu berupa gunung, malam dan siang, di dalamnya terdapat angin-angin yang telah diketahui nama-namanya meskipun berbeda-beda hembusannya. Juga matahari, bulan, dan bintang-bintang yang telah diketahui tempat terbitnya, tempat terbenamnya, dan posisi orbitnya. Allah mewajibkan mereka ijtihad untuk bisa menghadap ke arah Masjidil Haram melalui apa yang telah ditunjukkan Allah kepada mereka, sebagaimana telah saya jelaskan. Oleh karena itu, mereka harus ber-ijtihad tanpa boleh mengesampingkan perintah Allah. Allah SWT tidak mengizinkan mereka shalat ke arah sesuka hati mereka manakala tidak melihat Masjidil Haram.
Allah juga memberitahu mereka tentang ketetapan-Nya, dan berfirman:
اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS. Al Qiyamah [75]: 36)
Maksudnya dibiarkan tanpa perintah dan larangan .
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seorang pun, selain Rasulullah SAW, yang boleh menetapkan sesuatu kecuali dengan argumen, sebagaimana telah saya jelaskan dalam masalah ini, masalah tebusan dan masalah balasan berburu di Tanah Haram. Ia tidak boleh berpendapat menurut apa yang dianggapnya baik
(istihsan), karena pendapat menurut istihsan merupakan sesuatu yang diada-adakannya tanpa mengikuti petunjuk sebelumnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan mereka untuk mengangkat saksi dari dua orang yang adil, dan mereka punya cara untuk mengetahui sifat adil.
Hal ini telah disampaikan pada tempatnya, dan saya telah menulis beberapa kalimat, dengan harapan bisa menunjukkan perkara-perkara yang semakna dengan perkara ini.