Hak Maskawin Wanita Nashrani yang Masuk Islam

Fiqh Islam membahas secara detail hak-hak perempuan dalam pernikahan, termasuk terkait maskawin (mahar). Bagaimana status wanita Nashrani yang masuk Islam, sementara suaminya masih dalam keadaan Nasrani, menjadi perhatian Imam Syafi’i. Beliau menjelaskan kedudukan wanita tersebut terhadap maskawin, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri.

Kutipan Imam Syafi’i

قال الإمام الشافعي رحمه الله: في المرأة النصرانية تكون تحت زوجها النصراني، ثم أسلمت بعد أن دخل بها زوجها، فلها المهر كاملًا. فإن كانت قد قبضت مهرها، فقد فرغ أمرها. وإن لم تقبضه، فلها أن تأخذه بعد إسلامها، سواء أسلم زوجها أو لم يسلم. وإن لم يدخل بها زوجها حتى أسلمت، سواء كان المهر قد دفع إليها أو لم يدفع، فذلك سواء. ولها نصف المهر، لأن الزوج إن أسلم، فهو أحق بزوجته؛ وإن لم يسلم، فلا شيء لها، لأن الفُرقة جاءت من جهتها.

Artinya:
Imam Syafi’i berkata: Mengenai wanita Nashrani yang berada di bawah tanggungan suaminya yang Nasrani, lalu ia masuk Islam sesudah suami menggaulinya, maka wanita itu boleh mendapatkan maskawin. Jika ia sudah menerima maskawin, maka (urusannya) selesai. Jika belum, ia dapat mengambil maskawin itu sesudah masuk Islam, baik suaminya masuk Islam atau tidak. Jika suaminya belum menggaulinya hingga ia masuk Islam, baik maskawinnya itu sudah diterima dari suaminya atau belum, maka itu adalah sama saja. Tidaklah berlebihan jika wanita itu mendapatkan setengah maskawin. Karena jika suaminya masuk Islam, maka dia lebih berhak terhadap wanita itu; atau wanita itu tidak mendapatkan sesuatu pun, karena pemutusan pernikahan itu dari pihak wanita.

Analisis

  1. Jika sudah digauli sebelum masuk Islam → wanita berhak mendapatkan maskawin penuh.

  2. Jika belum menerima maskawin → tetap berhak menuntutnya meski sudah masuk Islam.

  3. Jika belum digauli ketika masuk Islam → hanya berhak setengah maskawin, karena perpisahan disebabkan dari pihak wanita.

  4. Jika suami ikut masuk Islam → maka pernikahan tetap sah, dan hak-hak istri kembali utuh.

  5. Jika suami tetap dalam kekafiran → maka pernikahan terputus, dan istri tidak berhak lebih dari setengah maskawin.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
(QS. Al-Baqarah: 237)

Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istri sebelum kamu mencampuri mereka, padahal kamu sudah menentukan maskawin, maka bagi mereka setengah dari maskawin yang telah kamu tentukan itu.”

Hadits Nabi ﷺ:

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya: “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (istri-istri kalian).”

Dalil ini menegaskan bahwa mahar merupakan hak perempuan, dan statusnya mengikuti keadaan akad serta keberlangsungan pernikahan.

Kesimpulan

Pandangan Imam Syafi’i menegaskan keadilan Islam dalam memberikan hak kepada wanita Nashrani yang masuk Islam. Jika sudah digauli, ia berhak atas mahar penuh. Jika belum, ia berhak atas setengah mahar. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan syariat bahwa maskawin merupakan hak yang tidak boleh diabaikan, dan harus ditegakkan dengan mempertimbangkan kondisi pernikahan.

Ditulis oleh:
KH. Ahmad Ghozali Fadli, M.Pd.I
Pengasuh Pesantren Alam Bumi Al Qur’an, Wonosalam, Jombang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *